Opini

Opini: Sosialitas dan Banalitas Kekerasan di NTT  

Sosialitas tersebut menunjukkan bahwa, manusia selalu membutuhkan orang lain untuk menemukan makna essensial dari keberadaannya di dunia. 

|
Editor: Dion DB Putra
thelocal.de
ILUSTRASI 

Maka dari itu, manusia harus keluar dari sikap banal akan kekerasan untuk menciptakan hidup (dan harapan) baru bagi manusia dewasa ini. 

Dengan kata lain, dua realitas, yakni kesosialan dan kekerasan harus direfleksikan kembali untuk mencapai pola hidup dan harapan yang baru.

Meneropong dan Merefleksikan Kembali 

Pola pikir manusia terhadap kesosialan bersifat paradoks. Manusia mampu menciptakan dwi-makna atau bahkan lebih terhadap sosialitas tersebut. 

Di satu sisi, manusia merefleksikan kesosialan sebagai locus untuk menemukan makna keberadaannya di dunia. 

Namun, di sisi lain, sosialitas dilihat sebagai bahaya bagi kebebasan pribadi. Berbagai upaya dilakukan oleh setiap pribadi untuk mengobjektivasi sesama demi mencapai kebebasan otentik. 

Misalnya, J. P. Sartre memandang sesamanya sebagai ‘neraka’ yang merenggut kekebasannya. Sehingga, berbagai cara akan diupayakan agar kebebasannya tidak terpenjara di dalam sorotan mata orang lain (Bertens: 2014, 100). 

Ketika sosialitas dilihat sebagai suatu bahaya maka relasi manusia dengan sesamanya pun dihiasi dengan kekerasan. Manusia menampilkan keganasannya terhadap sesamanya. 

Manusia pun menggunakan berbagai cara untuk mengaktualisasikan keganasannya tersebut, meski melalui jalur kekerasan atau bahkan melalui tindakan menghilangkan nyawa orang lain sekalipun. 

Perspektif manusia terhadap sesamanya pun tidak dilihat berdasarkan kalkulasi nilai sosial dan humanisme yang terkandung di dalamnya, tetapi berdasarkan pada tindakan untuk mengusai dan mengobjektivasi sesama.

Maka dari itu, manusia salah kaprah jika menjadikan sesamanya sebagai tempat untuk merealisasikan kekerasan. Manusia harus merefleksikan kembali makna hidup dan sosialitas. 

Kata refleksi sendiri berasal dari Bahasa Latin, yakni “reflctere”, yang artinya menoleh ke belakang (Snidjers: 2004, 49). 

Refleksi mengharuskan manusia untuk berziarah kembali ke dalam dirinya, seraya mengevaluasi pengalaman manusiawi secara holistik. 

Tindakan refleksi juga membangun kesadaran diri manusia untuk melihat lebih mendalam relasi intersubjektif manusia, bahwa di dalam relasi itu, manusia bukan menciptakan permusuhan dan kekerasan melainkan cinta kasih yang hakiki serta nilai responsibilitas terhadap sesamanya dan akhirnya menumbuhkan suatu harapan dan hidup baru bagi setiap orang.  (*)

Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved