Opini
Opini: Sosialitas dan Banalitas Kekerasan di NTT
Sosialitas tersebut menunjukkan bahwa, manusia selalu membutuhkan orang lain untuk menemukan makna essensial dari keberadaannya di dunia.
Oleh: Kristo Ronaldo Suri, CMF
Tinggal di Skolastikat Hati Maria Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Kekerasan kini lebih dari sekadar sesuatu yang tabu dan menjijikkan.
Ia telah menjadi hal yang biasa dan terlihat wajar. Itulah yang disebut banalitas kejahatan.
Sikap banal merupakan satu cara pandang yang melihat kekerasan sebagai hal yang wajar dan biasa-biasa saja, sehingga kekerasan manusia dewasa ini menjadi trending topic dan sajian empuk di media sosial demi menambah jumlah jam tayang (views) dan pengikut (followers).
Bercermin pada hal tersebut, saya ingin meneropong hidup manusia di tengah situasi kekerasan di Nusa Tenggara Timur (selanjutnya: NTT) saat ini dalam konteks relasi sosial manusia.
Dengan jutaan jiwa penghuninya, NTT pun tidak terlepas dari jeratan kekerasan saat ini. Hidup manusia seolah dibayang-bayangi oleh kekerasan itu sendiri.
Oleh karena itu, saya merasa perlu adanya penyadaran terhadap masyarakat untuk meminimalisir (bila perlu “menghapus”) kekerasan untuk menegakkan relasi sosial yang haromis dan menerapkan budaya respek terhadap yang lain.
Manusia: Homo Socius
Makhluk sosial merupakan predikat yang sangat melekat pada diri setiap manusia.
Sosialitas tersebut menunjukkan bahwa, manusia selalu membutuhkan orang lain untuk menemukan makna esensial dari keberadaannya di dunia.
Gabriel Marcel (1889-1973) mendeskripsikan relasi demikian dalam relasi “Aku-Engkau” (I-Thou).
Filsuf kelahiran Prancis tersebut mengatakan bahwa makna keberadaanku terpancar dalam kesatuan dan kebersamaan dengan sesamaku.
Lebih dari itu, kebersamaan dengan yang lain mengandung nilai cinta sejati. Bagi Marcel, nilai tertinggi dari cinta adalah berani mengungkapkan kepada sesama bahwa “Engkau tidak boleh mati” (Snidjers, 2004: 49).
Adapula Emanuel Levinas (1906-1995) dalam filsafat wajah, menafsirkan sasama sebagai “alter ego” atau aku yang lain.
Dalam kerangka konsep ini, gambaran wajah sesama yang menderita karena bencana alam, bencana sosial seperti ketidakadilan, kekerasan, dan lain sebagainya, seolah ‘menuduh’ aku sebagai subjek yang menciptakan penderitaan mereka, sehingga aku mesti bertanggung jawab atas penderitaan mereka.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.