Opini
Opini: Sosialitas dan Banalitas Kekerasan di NTT
Sosialitas tersebut menunjukkan bahwa, manusia selalu membutuhkan orang lain untuk menemukan makna essensial dari keberadaannya di dunia.
Frans Magnis-Suseno menggambarkan wajah itu sebagai epiphanie, penampakkan diri orang lain. (Suseno, 2000: 97).
Dengan demikian, relasi sosial bukanlah realita yang buruk. Bukan pula arena untuk menciptakan kriminalitas.
Akan tetapi, kesosialan merupakan kekayaan di dunia kehidupan (lebenswelt), di mana eksistensi manusia dipertegas dalam relasi dengan sesamanya.
Singkatnya, esensi kesosialan manusia termaktub dalam hubungan dengan sesamanya.
Keberadaan yang lain tidak selalu menegasi keberadaan manusia itu sendiri, sebaliknya manusia bisa menemukan makna keberadaannya di dunia melalui keterarahannya pada yang lain.
Fakta Kekerasan di NTT
Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) meng-update dan memverifikasi data kekerasan yang terjadi di Indonesia sepanjang Januari hingga Mei 2025.
Hasil laporan menunjukkan bahwa kekerasan di Indonesia berjumlah 11.507 jumlah kasus.
Sedangkan pada tingkat Provinsi, NTT memiliki jumlah kasus kekerasan sebesar 454 kasus per Januari hingga Mei 2025. Korban-korban tersebut antara lain 103 korban laki-laki dan 393 korban perempuan.
Jumlah demikian membuat provinsi NTT menempati posisi 10 dari 38 provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus kekerasan terbanyak.
Adapun data kekerasan per Kabupaten menempatkan Kota Kupang pada urutan pertama dengan jumlah kasus 154, diikuti oleh Timor Tengah Selatan (TTS) dengan jumlah kasus 49, Manggarai Barat 45 kasus, Kupang 32 kasus, Sabu Raijua 25 Kasus, Sika 24 kasus, dan seterusnya.
Bentuk kekerasan yang dialami oleh korban pun bervariasi, seperti korban fisik berjumlah 115 orang, psikis berjumlah 215 korban, dan korban seksual berjumlah 154 orang, dan penelantaran 48 kasus (https://kekerasan.kemenpppa.go.id/, diakses pada 10 Juni 2025, Pukul 21.40).
Dengan data-data demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian masyarakat NTT masih mengalami penurunan paradigma berpikir mengenai relasi dengan sesama.
Sesama manusia tidak lagi dilihat sebagai kekuatan untuk mengafirmasi keberadaannya melainkan dijadikan sebagai tempat untuk melangsungkan kekerasan.
Disamping itu pula, hidup manusia berada di pinggir “jurang kehancuran”. Sebab hidup manusia didekor dengan kekerasan, yang pada akhirnya merusak makna hidup dan kesosialan itu sendiri.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.