Opini

Opini: Perempuan dalam Kerangkeng Kuasa, Membaca ulang Pramoedya dan Julia

Dalam goresan sederhana ini penulis akan mengangkat peran sastra dalam menyuarakan kesetaraan gender.

Editor: Dion DB Putra
SHUTTERSTOCK
ILUSTRASI 

Sejatinya, mereka hendak membangkitkan kesadaran dari masyarakat yang terus dalam kerangkeng.

Pelecehan seksual dan kolonialisme dalam kacamata Pramoedya

Gaya penulisan sastra Pram digolongkan dalam sastra realisme sosialis. Model ini menekankan perjuangan manusia dalam menghadapi penindasan dan pemerasan terhadap orang-orang kecil. 

Pemberontakan kata-kata Pram terhadap kekuasaan dan kekerasan seksual melahirkan kesadaran sejarah terhadap penindasan. 

Pemberontakan seperti ini tidak diinginkan oleh pemerintah karena dapat melahirkan agen-agen pemberontak baru, sehingga pada akhirnya ia diasingkan.

Pemikiran Pram ditemukan dalam penggalan novel yang bernas. Dalam novel Gadis Pantai, seorang gadis dijodohkan oleh orang tuanya kepada Bendro (sebutan untuk bangsawan) dengan intrik ekonomi. 

Ironisnya pernikahan ini hanya diwakilkan oleh keris, “kemarin malam Ia dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu Ia tahu, kini ia bukan anak bapaknya lagi. 

Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup” (Gadis Pantai: 12). 

Praktik perjodohan ini merupakan bentuk “eksploitasi” terhadap wanita karena ia diambil secara paksa dari kebebasannya dan keperawanannya demi alasan masa depan. 

Masa depan yang sebetulnya suram dan belum tentu cerah. Kebebasan gadis pantai dibelenggu. Pram ingin menguak kebobrokan pemerintah dan kenyataan bahwa perempuan seringkali dijadikan objek seksual seperti boneka-boneka seks yang diburu banyak lelaki Jepang akhir-akhir ini.

Ibuisme: Konstruksi Kekerasan terhadap Perempuan 

Senada dengan itu, Julia Suryakusuma, seorang feminis Indonesia menelurkan satu pemikiran brilliant mengenai Ibuisme dalam publikasinya yang bertajuk “State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in the Indonesian New Order”. 

Konsep ini membongkar ideologi pada masa orde baru yang membatasi peran “ibu” sebagai istri yang patuh dan ibu rumah tangga yang setia dan pendukung suami. 

Ideologi ini ada dalam konstruksi sosial yang menetapkan tugas perempuan sebagai ibu yang melahirkan dan mengasuh anak, istri yang sigap memasak, mencuci pakaian, dan melayani suami. 

Secara tajam Suryakusuma mengkritik sistem patriarkal yang membuat perempuan tidak mempunyai kehendak pada dirinya dan ia tidak lebih dari seorang ibu rumah tangga dan pelengkap laki-laki. 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved