Opini

Opini: Perempuan dalam Kerangkeng Kuasa, Membaca ulang Pramoedya dan Julia

Dalam goresan sederhana ini penulis akan mengangkat peran sastra dalam menyuarakan kesetaraan gender.

Editor: Dion DB Putra
SHUTTERSTOCK
ILUSTRASI 

Oleh: Aquilio Jeane Windy Putra
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

POS-KUPANG.COM - Dewasa ini, pelecehan seksual terhadap perempuan meningkat dari tahun ke tahun. Lembaga Komnas Perempuan mencatat ada 3.166 kasus kekerasan seksual per tahun 2024. 

Hari-hari ini publik digemparkan dengan munculnya grup facebook dengan nama Fantasi Sedarah yang berisi cerita, gambar ataupun video hubungan seks antara anggota keluarga. Korban utama dalam persoalan inses ini adalah anak-anak perempuan.

Andrea Dworkin, seorang feminis dalam bukunya yang bertajuk “Woman Hating” (1974), menguraikan dengan sangat menarik sikap misogini. 

Misogini merupakan tendensi atau sikap benci terhadap perempuan yang sebetulnya sudah terpatri dalam budaya, sastra bahkan mitologi kuno. 

Tidaklah heran jika melihat fakta kekerasan seksual terhadap perempuan yang terus membeludak. Bahkan keluarga kandungpun dan anak-anak dijadikan “mainan” atau fantasi seksual. 

Pendekatan untuk menyelesaikan persoalan pelecehan seksualpun beragam, mulai dari hukum, agama, sosial, budaya dan sastra. 

Namun, kelihatannya masih ada tembok besar yang menghalangi kesadaran akan ketimpangan ini. 

Dalam goresan sederhana ini penulis akan mengangkat peran sastra dalam menyuarakan kesetaraan gender.

Sastra membongkar cerita yang bungkam

Sastra mampu menyingkapkan fakta. Ia menjadi tempat aman untuk cerita yang bungkam. Alur, konflik dan tokoh dalam sastra mengungkapkan fakta yang barangkali tabu di masyarakat. 

Penggambaran demikian lebih hidup dan sarat makna. Karya Pramoedya Ananta Tour dan Julia Suryakusuma menunjukan sastra dan dunia kepenulisan sebagai cerminan realitas. 

Pramoedya membongkar praktik kolonial dan feodalisme pada masanya. Sementara Julia, mengulak-ulik praktik kekerasan seksual terhadap perempuan pada masa orde baru. 

Sastra menjadi bilik untuk membungkus (menyimpan) cerita-cerita yang berisi kritikan pedas dan liar untuk satu sistem yang bobrok. 

Hal yang tidak disadari adalah para sastrawan atau penulis mempunyai tugas penting untuk menjadi “pengeras suara” bagi kaum-kaum marginal yang tidak diperhitungkan dalam struktur sosial. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved