Opini

Opini: Narsisme Kolektif dan Tantangan Persatuan

Fenomena ini dapat ditemukan dalam berbagai konteks, mulai dari nasionalisme ekstrem hingga fanatisme kelompok dalam kehidupan sosial.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Dominifridus Bone 

Contoh nyata adalah meningkatnya ujaran kebencian dan intoleransi di media sosial atau ruang publik, terutama menjelang pemilu atau isu-isu sensitif. 

Beberapa kelompok mengedepankan identitas agama, etnis, atau ideologi tertentu secara eksklusif, dan menolak dialog atau koeksistensi dengan kelompok lain.

Di Indonesia, fenomena narsisme kolektif dapat ditemukan dalam berbagai bentuk, terutama dalam konteks politik identitas dan sektarianisme. 

Misalnya, kelompok-kelompok yang mengklaim sebagai representasi moralitas tertinggi sering kali menolak keberadaan kelompok lain yang berbeda keyakinan atau pandangan, dan menuntut pengakuan eksklusif terhadap nilai-nilai mereka sebagai yang paling benar dan patut diikuti.

Survei nasional oleh Lembaga Survei Indonesia tahun 2022 menunjukkan bahwa 41,2 persen responden menyatakan hanya nyaman hidup bertetangga dengan orang yang memiliki latar belakang agama yang sama. 

Ini menandakan adanya kecenderungan eksklusivitas sosial yang menguat, yang selaras dengan ciri-ciri narsisme kolektif. 

Selain itu laporan Setara Institute pada 2023 mencatat terjadi peningkatan kasus intoleransi berbasis agama di Indonesia, dengan 151 pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang tercatat dalam satu tahun. 

Data ini menunjukkan bahwa ekspresi narsisme kolektif yang dibungkus dalam semangat keagamaan atau kebangsaan bisa berdampak negatif terhadap kohesi sosial.

Selain itu, munculnya organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bersifat eksklusif dan mendapatkan legitimasi politik atau dukungan pemerintah juga menjadi contoh bagaimana narsisme kolektif bisa melembaga dalam sistem sosial. 

Misalnya, ormas yang mendasarkan perjuangannya atas identitas agama atau kelompok tertentu, dan menyebarkan narasi bahwa identitas tersebut adalah satu-satunya yang sah, sering kali diberi ruang dalam kebijakan publik, bahkan difasilitasi untuk ikut serta dalam proses sosial-politik nasional. 

Keberadaan ormas semacam ini menimbulkan segregasi sosial dan membatasi ruang dialog lintas identitas.

Pemerintah, sebagai pembuat kebijakan, perlu mempertimbangkan bagaimana narasi identitas kolektif dibentuk dan disebarluaskan, serta bagaimana dampaknya terhadap semangat kebangsaan dan integrasi nasional. 

Dengan pemahaman mendalam mengenai narsisme kolektif, kebijakan yang inklusif, toleran, dan berbasis pada nilai-nilai Pancasila dapat dirancang untuk memperkuat persatuan nasional dan mencegah disintegrasi sosial. 

Kebijakan publik harus diarahkan untuk menghindari keberpihakan pada kelompok eksklusif tertentu dan mendorong sikap inklusif dan berkomitmen pada nilai-nilai kebhinekaan.

Dalam konteks kebijakan publik, narsisme kolektif menjadi tantangan serius karena dapat dilembagakan dalam bentuk dukungan terhadap kelompok-kelompok eksklusif yang bertentangan dengan prinsip inklusivitas. 

Halaman
1234
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved