Opini
Opini: Bunuh Diri dalam Perspektif Moral Kristiani
Gereja Katolik mengajarkan bahwa hidup manusia adalah anugerah tak ternilai dari Allah yang harus dijaga dan dihormati.
Oleh: Joaquin De Santos Fahik
Mahasiswa Fakultas Filsafat Unwira, tinggal di Seminari Tinggi St. Mikhael, Penfui Kupang - NTT
POS-KUPANG.COM - Fenomena bunuh diri semakin marak terjadi di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir.
Kalangan remaja hingga dewasa merupakan kelompok yang paling rentan terpapar.
Dalam masyarakat, tindakan ini dipandang sebagai sesuatu yang tabu, menakutkan, bahkan memalukan.
Sebagai makhluk berakal budi dan berhati nurani, manusia seharusnya dapat menyelesaikan segala persoalan hidupnya dengan tanggung jawab moral dan kesadaran penuh.
Apakah tindakan bunuh diri merupakan bentuk tanggung jawab dalam menghadapi penderitaan?
Apakah bunuh diri merupakan ekspresi kebebasan atau justru bentuk keputusasaan?

Dalam terang teologi moral Kristiani, tindakan bunuh diri dipandang sebagai usaha membebaskan diri dari penderitaan dengan cara yang keliru dan bertentangan dengan kehendak Allah.
Gereja Katolik mengajarkan bahwa hidup manusia adalah anugerah tak ternilai dari Allah yang harus dijaga dan dihormati.
Katekismus Gereja Katolik (KGK) menegaskan, "Bunuh diri bertentangan dengan kecenderungan alami manusia untuk memelihara dan melestarikan hidupnya. Ia secara berat melawan cinta terhadap Allah yang hidup" (KGK 2281).
Dalam dokumen Evangelium Vitae no. 66, Paus St. Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa segala bentuk pembunuhan, termasuk terhadap diri sendiri, merupakan pelanggaran terhadap kasih Allah dan martabat manusia.
Faktor-Faktor Penyebab Bunuh Diri
Tindakan bunuh diri biasanya tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan sebagai akumulasi dari berbagai penderitaan psikologis, sosial, dan spiritual.
Faktor utama yang sering menjadi pemicu adalah gangguan kesehatan mental seperti depresi, bipolar, skizofrenia, dan kecemasan yang berlebihan.
Penderitaan emosional yang terus-menerus dapat melumpuhkan harapan dan menciptakan rasa putus asa mendalam.
Di samping itu, pengalaman traumatis, kehilangan orang terdekat, tekanan ekonomi, dan kegagalan dalam relasi juga menjadi latar belakang tindakan ini.
Terlebih lagi, isolasi sosial dan kurangnya dukungan komunitas dapat memperburuk kondisi seseorang.
Jurnal Sosiologi Pendidikan dan Pendidikan IPS (SOSPENDIS), Vol. 1 No. 3 (2023), mencatat bahwa keterasingan sosial berkontribusi signifikan terhadap meningkatnya angka bunuh diri.
Namun demikian, ajaran Gereja mengajak semua orang untuk memaknai penderitaan dalam terang iman. Gaudium et Spes no. 10 menyatakan bahwa dalam terang Kristus, misteri penderitaan memperoleh makna dan nilai.
Penderitaan bukanlah akhir dari segalanya, melainkan ruang untuk mengalami persatuan dengan penderitaan Kristus dan menemukan kekuatan dalam pengharapan akan kebangkitan.
Pandangan Moral Kristiani terhadap Bunuh Diri
Dalam ajaran Kristiani, kehidupan bukanlah milik pribadi yang dapat diakhiri sesuka hati. Manusia hanyalah pengelola, bukan pemilik kehidupan.
KGK 2280 menegaskan: "Kita adalah pengelola, bukan pemilik kehidupan yang telah dipercayakan Allah kepada kita. Kita tidak berhak untuk membuangnya."
Bunuh diri juga dianggap sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap rencana penyelenggaraan ilahi.
Iman Kristiani mengajarkan bahwa Allah memiliki rencana penuh kasih bagi setiap manusia, termasuk dalam penderitaan.
Dalam Christifideles Laici no. 38, ditegaskan bahwa tidak ada penderitaan yang sia-sia dalam pandangan Allah.
Ketika seseorang memilih untuk mengakhiri hidup, itu menandakan ketidakyakinan bahwa Allah sanggup menolong dan menyelamatkan.
Namun, Gereja tidak serta merta mengutuk orang yang melakukan bunuh diri. Gereja memahami bahwa dalam banyak kasus, tindakan itu dilakukan dalam keadaan tekanan psikologis hebat yang mengaburkan kebebasan dan tanggung jawab moral seseorang.
KGK 2282-2283 menyatakan bahwa tanggung jawab moral bisa berkurang atau bahkan dihapus karena gangguan mental berat.
Gereja berdoa bagi mereka dan menyerahkan mereka kepada belas kasih Allah.
Peran Gereja dalam Menyikapi dan Mencegah Bunuh Diri
Sebagai ibu dan guru, Gereja memiliki dua tanggung jawab besar dalam menyikapi bunuh diri: pertama, menjaga integritas ajaran moral tentang kesucian hidup; kedua, menunjukkan wajah belas kasih Kristus kepada mereka yang menderita.
Gaudium et Spes no. 27 menyatakan bahwa segala bentuk penghinaan terhadap kehidupan manusia, termasuk bunuh diri, harus ditolak dan ditentang.
Namun, ajaran ini disampaikan tidak dalam bentuk vonis, melainkan dengan kasih yang membangun dan menyembuhkan.
Gereja dipanggil untuk menjadi ruang aman dan penuh pengharapan, tempat di mana individu yang bergumul dapat menemukan pendampingan rohani dan pastoral.
Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia no. 253 menekankan pentingnya Gereja untuk hadir secara aktif dalam penderitaan umat, menawarkan telinga yang mendengar dan hati yang memahami.
Oleh karena itu, keterlibatan Gereja dalam pelayanan konseling, edukasi kesehatan mental, dan komunitas yang suportif menjadi sangat krusial.
Penanganan kasus bunuh diri harus melibatkan pendekatan interdisipliner, termasuk profesional kesehatan mental, pendamping rohani, dan komunitas iman yang solider.
Dengan demikian, Gereja dapat sungguh menjadi sakramen keselamatan, tempat di mana setiap pribadi yang terluka disambut, dimengerti, dan dipulihkan oleh kasih Kristus.
Kita semua tentu dapat merefleksikan bahwa ajaran moral Gereja tidak hanya mengatur secara kehidupan secara normatif dan administratif, tetapi juga membuka ruang pastoral yang penuh belas kasih bagi mereka yang bergumul dengan penderitaan hidup.
Dalam terang iman, setiap kehidupan tetap bernilai dan layak diperjuangkan, karena di dalam Kristus, tidak ada penderitaan yang tidak ditebus.
Bunuh diri adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan dalam terang kasih Kristus. Maka hidup tidak boleh disia-siakan oleh siapapun dengan alasan apapun, sebab memalui hidup rahmat Allah dicurahkan kepada setiap makhluk ciptaan-Nya. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Joaquin De Santos Fahik
fenomena bunuh diri
Opini Pos Kupang
POS-KUPANG. COM
Kristiani
Unwira Kupang
Opini: Nusa Tenggara Timur Menuju Swasembada Pangan |
![]() |
---|
Opini: Seni Berkarakter di Ujung Tanduk, Bakat Muda NTT Tenggelam dalam Arus Globalisasi |
![]() |
---|
Opini: Jebakan Passing Grade ASN, Bom yang Siap Meledak di Jantung Birokrasi Negeri |
![]() |
---|
Opini - Literasi Sains dan Kesadaran Isu Lingkungan di Kalangan Anak Muda |
![]() |
---|
Opini: Makin Merah Kerokan, Makin Parah Masuk Angin? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.