Opini
Opini: Like dan Share Tapi Gagasannya Kosong
Dalam demokrasi sehat, ada ruang publik tempat ide beradu, bukan sekadar adu gaya. Sayangnya, ruang publik itu kini dipenuhi noise, bukan voice.
Oleh: John Mozes HendriK Wadu Neru
Pendeta GMIT, berkarya di Kabupaten Sabu Raijua
POS-KUPANG.COM - “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pikiran.” (Soekarno).
Jika Plato hidup hari ini dan membuka TikTok, mungkin ia akan menghapus akun, lalu kembali menulis The Republic dengan tambahan bab baru: Democracy and the Dance Challenge.
Sebab realitas yang kita hadapi kini cukup menyayat nalar: wakil rakyat, terutama di level daerah, lebih sibuk menari di media sosial daripada menari dengan ide di tengah penderitaan rakyat.
Sementara rakyat tenggelam dalam persoalan harga sembako, tambang merusak ruang hidup, nelayan diburu cuaca dan tengkulak, para legislator daerah malah sibuk membuat konten — bukan untuk menjelaskan kebijakan atau menyusun argumentasi publik, tapi untuk tampil berselfie ria, berbagi video lipsync, atau memamerkan “kunjungan kerja” di hotel berbintang.
Kita sedang hidup dalam demokrasi digital yang kehilangan nalar substansial.
Ketika Parlemen Kehilangan Gagasan
“Demokrasi adalah pemerintahan oleh diskursus,” kata Jurgen Habermas. Namun di tanah air tercinta, diskursus itu sudah lama disubkontrakkan pada tukang ketik di medsos dan tukang disain infografis yang tidak pernah diajak diskusi tentang isi Perda.
Anggota legislatif — dari pusat hingga kabupaten — punya akun media sosial. Tapi berapa banyak dari mereka yang bisa menjelaskan: Mengapa PAD daerah lebih kecil dari belanja hibah?
Mengapa belanja pendidikan stagnan di bawah 20 persen? Mengapa target pengurangan stunting tidak tercapai?
Jawabannya: nyaris tidak ada. Yang ada adalah unggahan dengan caption: “Kunjungan kerja ke Bali. Luar biasa!” atau “Bersama rakyat, kami kuat”.
Dan tentu, jangan lupa video senam sehat bersama istri pejabat, lengkap dengan backsound remix dangdut TikTok yang sedang viral.
Demokrasi kita berubah dari government by deliberation menjadi government by decoration — dihiasi dengan stiker, emoji, dan efek kamera.
Politik Gaya
Kenapa legislator kita lebih peduli gaya daripada isi? Karena gagasan tidak laku dijual dalam pasar politik yang dibentuk oleh uang dan popularitas.
John Mozes Hendrik Wadu Neru
Kabupaten Sabu Raijua
Opini Pos Kupang
POS-KUPANG. COM
Pendeta GMIT
wakil rakyat
Opini: Amnesti, Abolisi untuk Hasto dan Lembong, Runtuhnya Sebuah Hegemoni? |
![]() |
---|
Opini: Pesan Terkuat Rekonsiliasi dan Restorasi Reputasi Melalui Kongres Persatuan PWI |
![]() |
---|
Opini: DPRD Dalam Cengkraman Oligarki |
![]() |
---|
Opini: Joko Widodo, Dedy Mulyadi dan Feodalisme |
![]() |
---|
Opini: Elaborasi Pendidikan Bermakna, Mengembalikan Jiwa dalam Ruang Kelas |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.