Opini

Opini: Membangun Narasi Kritis Mahasiswa Flores 

Kampus seharusnya menjadi ruang intelektual yang membuka ruang bagi perdebatan konstruktif, bukan tempat yang hanya menerima pengetahuan.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Berno Jani 

Mahasiswa yang kehilangan kompas moral dan intelektual akan dengan mudah berubah menjadi aktor dalam sistem yang seharusnya mereka kritik. 

Oleh karena itu, mahasiswa harus kembali menyadari bahwa posisi sebagai penjaga kebenaran yang harus mempertanyakan dan menggugat dominasi simbolik yang ada di masyarakat.

Akal sehat menjadi senjata penting dalam perlawanan epistemik. Di tengah-tengah ekosistem politik yang tercemar oleh hoaks, intoleransi, dan polarisasi, akal sehat harus diposisikan bukan hanya sebagai nalar normatif, melainkan sebagai instrumen untuk melawan ketidakadilan dan ketidakbenaran yang merajalela. 

Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai habitus intelektual, sebuah kecenderungan reflektif untuk terus mempertanyakan asumsi-asumsi yang ada, membongkar struktur dominasi simbolik yang telah mengakar, danmenyusun wacana tandingan atas narasi-narasi hegemonik yang sering kali menindas. 

Dalam politik akal sehat, mahasiswa dituntut untuk berani berpikir secara rasional di tengah-tengah suasana yang emosional dan penuh ketegangan. 

Keberanian ini adalah kualitas yang harus dimiliki oleh mahasiswa sebagai subjek epistemik yang dapat membongkar kebohongan dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat, serta memperjuangkan kebenaran dan keadilan untuk semua.

Dengan demikian, mahasiswa harus kembali kepada tugas mulia mereka sebagai agen perubahan yang tidak hanya mengkritisi sistem, tetapi juga memberikan solusi yang rasional dan bermoral untuk membangun masa depan yang lebih baik. 

Mereka harus berani melawan dominasi ideologi yang menindas dan menggantinya dengan wacana yang lebih adil, lebih manusiawi, dan lebih berpihak pada masyarakat.

Mahasiswa Menjadi Suara Alternatif

Tugas mahasiswa dalam menangani masalah yang terjadi di Flores, khususnya terkait dengan eksploitasi panas bumi (geothermal), dapat dianalisis melalui dua dimensi besar yang mengacu pada epistemologi perlawanan: sebagai subjek epistemik yang kritis dan sebagai agen perubahan dalam masyarakat.

Pertama, mahasiswa sebagai subjek epistemik yang kritis. Dalam tradisi intelektual Gramsci, mahasiswa memegang peran penting sebagai intelektual organik, yaitu individu yang tidak hanya berfokus pada pencapaian akademik semata, tetapi juga berfungsi aktif dalam masyarakat. 

Sebagai subjek epistemik, mahasiswa seharusnya menyadari posisi mereka dalam konteks sosial, politik, dan ideologis, serta memahami cara-cara pengetahuan yang mereka peroleh dapat digunakan untuk mengkritisi ketimpangan sosial-ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam. 

Dalam hal ini mahasiswa perlu menggali lebih dalam mengenai dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi dari proyek geothermal yang terjadi di Flores, terutama terhadap keberlanjutan ekosistem dan kehidupan masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat yang sering terpinggirkan dalam pengambilan keputusan pembangunan.

Sebagai subjek epistemik, mahasiswa harus mampu membongkar narasi hegemonik yang seringkali diproduksi oleh pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau perusahaan besar yang terlibat dalam eksploitasi geothermal. 

Mereka tidak hanya menerima informasi sebagai kebenaran yang ditetapkan, tetapi juga aktif membangun narasi tandingan yang kritis terhadap kebijakan yang ada. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved