Opini

Opini: Membangun Narasi Kritis Mahasiswa Flores 

Kampus seharusnya menjadi ruang intelektual yang membuka ruang bagi perdebatan konstruktif, bukan tempat yang hanya menerima pengetahuan.

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Berno Jani 

Bahkan, lebih dari 70 persen dari 12 Wilayah Kerja Panas Bumi di Flores dikuasai segelintir perusahaan besar yang berafiliasi dengan konglomerat multinasional, memperlihatkan bagaimana oligarki energi mengendalikan proyek-proyek ini untuk kepentingan ekonomi global, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Masyarakat lokal, terutama petani, semakin merasakan dampak negatif yang mencengkeram kehidupan mereka. 

Penurunan hasil pertanian, seperti kopi, cengkeh, dan kakao, serta kerugian ekonomi hingga triliunan rupiah menjadi ancaman nyata. 

Di beberapa tempat, bencana ekologis seperti longsor dan pencemaran air sudah mulai terjadi, sementara pemerintah lebih sibuk mengejar keuntungan ekonomi dan modal asing daripada melindungi hak-hak masyarakat yang terpinggirkan.

Pembangunan energi terbarukan yang digembar-gemborkan ini justru tampak sebagai dalih untuk memperluas ekspansi kapital yang merusak. 

Klaim transisi energi hijau hanyalah kemasan untuk praktik "neokolonialisme"  yang merugikan masyarakat adat. 

Tanpa partisipasi yang adil dari warga lokal, transisi energi ini bukan saja mengabaikan keadilan sosial dan ekologis, tapi juga memperburuk ketimpangan yang ada. 

Dengan begitu Flores terjebak dalam lingkaran setan eksploitasi sumber daya yang hanya memperkaya segelintir pihak, sementara masyarakat lokal harus menanggung kerusakan jangka panjang pada tanah, air, dan kehidupan mereka.

Apa dan Siapa itu Mahasiswa?

Mahasiswa bukan hanya sebagai objek pendidikan atau alat yang dimanfaatkan oleh kekuasaan, melainkan subjek epistemik yang mampu berpikir kritis dan mandiri. 

Mengacu pada pandangan Antonio Gramsci, mahasiswa idealnya adalah seorang organik-intellectual, individu yang tidak hanya memahami ilmu pengetahuan, tetapi juga memiliki kesadaran terhadap posisi historis dan ideologisnya dalam masyarakat. 

Mereka seharusnya menjadi agen perubahan yang aktif, yang menggugat status quo, bukan sekadar mengikuti arus tanpa mengkritisi. 

Namun dalam kenyataannya, banyak mahasiswa yang terjebak dalam apatisme estetis, lebih sibuk dengan representasi diri mereka di ruang digital daripada mengartikulasikan ide di ruang publik yang lebih produktif. 

Bahkan, ada juga yang tergelincir menjadi "teknokrat bayaran", profesional yang bekerja atas dasar logika kapital dan kekuasaan tanpa mempertimbangkan keberpihakan etis pada kebenaran dan keadilan.

Fenomena ini seperti yang disebutkan oleh Julien Benda, mencerminkan pengkhianatan kaum intelektual, di mana para cendekiawan memilih untuk berkhianat terhadap tugas pencerahan mereka dan malah menjadi pelayan ideologis bagi kekuasaan yang ada. 

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved