Nasional Terkini

Siloam Oncology Summit 2025: Tes Genomik, Terobosan untuk Prediksi dan Terapi Tepat Kanker Payudara

CEO Siloam Hospital Group, Caroline Riady, mengatakan bahwa setiap pasien itu unik dan memiliki riwayat yang berbeda, kondisi biologis yang berbeda

Editor: Ryan Nong
POS-KUPANG.COM/HO-RS SILOAM
SILOAM ONCOLOGY SUMMIT - Dr. dr. Samuel Haryono, SpB (K) Onk (kiri) bersama Dr. dr. Cosphiadi Irawan, SpPD-KHOM (kanan) sesaat setelah memaparkan materi pada sesi Symposium VIII – Breast Cancer 2  yang menjadi rangkaian kegiatan Siloam Oncology Summit (SOS) 2025 pada Sabtu, 17 Mei 2025 di Hotel Shangri-La, Jakarta. 

POS-KUPANG.COM, JAKARTA - Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre (MRCCC) Siloam Hospitals Semanggi kembali menunjukkan komitmennya dalam mengembangkan inovasi penanganan kanker di Indonesia melalui pelaksanaan Siloam Oncology Summit (SOS) 2025 yang berlangsung pada 16-18 Mei 2025 di Hotel Shangri-La, Jakarta. 

Mengusung tema “United by Unique”, SOS 2025 menghadirkan 89 pembicara nasional dan 11 pembicara internasional dari berbagai institusi ternama seperti MD Anderson Cancer Center (Amerika Serikat), National Cancer Center Singapore, University of Wollongong (Australia), Icon Cancer Center (Australia), National Cancer Center (Jepang), Sir Run Run Shaw Hospital (China), Rungsit University/Rajavithi Hospital (Thailand), hingga National Cancer Institute Anthoni van Leeuwenhoek (Belanda).

CEO MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, dr. Edy Gunawan, MARS., menyampaikan bahwa SOS 2025 merupakan ruang belajar dan bertumbuh bersama bagi ekosistem kesehatan global, khususnya penanganan kanker.

“Kami percaya bahwa perkembangan penanganan kanker hanya dapat dicapai melalui kolaborasi. Setiap profesi memiliki peran penting yang unik. Melalui SOS 2025, kami berharap dapat menyatukan keahlian dan memperkuat jejaring, untuk mengembangkan inovasi penanganan pasien menjadi lebih baik dan optimal,” ujarnya.

CEO Siloam Hospital Group, Caroline Riady, mengatakan bahwa setiap pasien itu unik dan memiliki riwayat yang berbeda, kondisi biologis yang berbeda, dan harapan yang berbeda.

“Begitu pula para profesional yang terdiri dari ahli onkologi, ahli bedah, ahli patologi, ahli radiologi, perawat, peneliti, manajemen, semuanya membawa keahlian mereka yang berbeda kemudian dipersatukan oleh tujuan bersama dan berkolaborasi memberikan perawatan kanker terbaik,” ujarnya.

“Melalui pendekatan multidisiplin, kita dapat menyesuaikan perawatan dengan kondisi unik setiap pasien, menyediakan perawatan kanker yang tidak hanya efektif, tetapi juga penuh kasih sayang, holistik, dan berkelanjutan,” lanjut Caroline.


Tes Genomik: Terobosan untuk Prediksi dan Terapi Tepat dalam Kanker Payudara

Salah satu sesi simposium SOS 2025 yaitu Breast Cancer 2. Pada sesi ini, para pembicara membahas tentang peran dan inovasi tes genomik dalam penentuan terapi kanker payudara.

Tes genomik kini menjadi garda depan dalam pendekatan personalized medicine untuk pengobatan kanker. Di antara berbagai jenis kanker, kanker payudara menjadi salah satu yang paling banyak mendapatkan manfaat dari kemajuan teknologi ini.

Melalui analisis ekspresi genetik dari sel tumor, tes genomik mampu memberikan informasi mendalam tentang sifat biologis kanker, risiko kekambuhan, dan respons terhadap pengobatan. 

Jumlah kasus kanker payudara di Indonesia terus meningkat. Data Global Cancer Observatory (GLOBOCAN) 2022 menunjukkan bahwa kanker payudara merupakan jenis kanker yang paling banyak terjadi pada wanita di seluruh dunia, dengan diperkirakan 2.296.840 kasus baru di tahun 2022. 

Kanker payudara juga merupakan penyebab utama kematian akibat kanker pada wanita, dengan 666.100 kematian di tahun 2022. Salah satu tantangan utama dalam kanker payudara adalah kekambuhan setelah pengobatan, bahkan pada pasien dengan stadium awal.

“Risiko kekambuhan tersebut kini bisa diprediksi lebih akurat dengan pemeriksaan genetik,” kata Dokter Spesialis Penyakit Dalam Subspesialis Hematologi Onkologi Medik MRCCC Siloam Hospitals Semanggi, Dr. dr. Cosphiadi Irawan, SpPD-KHOM.

Data menunjukkan bahwa risiko kekambuhan 3 tahun pasca pengobatan pada stadium 1–2 mencapai 37 persen. Pada stadium 3, risikonya meningkat menjadi 60 % . Dengan tes genomik, dokter dapat mengidentifikasi apakah pasien termasuk Low genomic risk yaitu: tidak membutuhkan kemoterapi atau masuk dalam kategori High atau ultra-high risk, yaitu membutuhkan terapi tambahan yang lebih agresif.

Halaman
12
Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved