Opini

Opini: Tanah yang Terkoyak, Nurani yang Tumpul

Padahal dampaknya nyata: perubahan tata air, erosi tanah, hingga berkurangnya cadangan air bersih.

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Pdt. John Mozes Hendrik Wadu Neru 

Pemerintah Daerah: Tanggung Jawab Ganda yang Terabaikan

Dalam dinamika ini, Pemerintah Kabupaten Sabu Raijua memegang tanggung jawab ganda yang tak bisa dielakkan. 

Pertama, mereka bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan yang terjadi akibat kelalaian pengawasan dan lemahnya regulasi. 

Kedua, mereka gagal menghadirkan model pembangunan yang berkeadilan sosial dan ekologis.

Padahal, konstitusi negara telah jelas mengamanatkan bahwa rakyat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (Pasal 28H ayat 1 UUD 1945), serta bahwa kekayaan alam harus dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33). 

Artinya, negara—termasuk pemerintah daerah—tidak boleh lepas tangan dalam mengatur, mengawasi, dan menjamin bahwa pengelolaan sumber daya alam tidak merusak masa depan ekologis dan sosial.

Sayangnya, hingga hari ini belum ada audit ekologis komprehensif yang menilai dampak seluruh aktivitas ekstraktif di Sabu Raijua.
 
Tidak ada penataan ulang kebijakan lokal berbasis keadilan ekologis, tidak ada forum terbuka lintas komunitas adat, gereja, dan pemerintah yang membahas arah masa depan pengelolaan sumber daya secara serius. 

Yang ada justru saling lempar tanggung jawab, pencitraan, dan kebijakan setengah hati.

Gereja: Panggilan Kenabian di Tengah Moralitas yang Tumpul

Dalam situasi kabur antara suara rakyat, kepentingan modal, dan kebijakan negara, Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) memiliki posisi strategis sebagai penuntun nurani kolektif. 

Tetapi posisi ini hanya bisa dijalankan bila gereja berdiri tegak sebagai penjaga suara kenabian—bukan sekadar pengikut arus populis.

Nabi Mikha berkata: “Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan daripadamu: selain berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” (Mikha 6:8)

Ayat ini bukan hanya ajakan spiritual, melainkan prinsip etika sosial-ekologis. Berlaku adil berarti menyuarakan keadilan ekologis tanpa tebang pilih. 

Mencintai kesetiaan berarti setia pada bumi sebagai ciptaan Tuhan, bukan hanya pada kenyamanan pribadi. 

Dan hidup rendah hati berarti mengakui bahwa kita semua turut andil dalam kerusakan yang terjadi, baik secara langsung maupun melalui pembiaran.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved