Opini
Opini: Keluarga sebagai Teks yang Tak Pernah Selesai
Maka, istilah “keluarga” pun tidak memiliki makna tunggal; ia adalah konsep yang senantiasa dibentuk oleh narasi dominan.
Dalam konteks keluarga, ini bisa terlihat dari tekanan eksternal untuk mencapai standar ekonomi tertentu, yang kemudian memicu konflik internal dalam rumah tangga.
Oleh karena itu, penting untuk melihat keluarga sebagai medan pertarungan subjektivitas— tempat di mana makna gender, tanggung jawab, dan kepemimpinan terus dinegosiasikan.
Pada Hari Keluarga Internasional 2025, mari kita lihat keluarga bukan sebagai arena reproduksi norma, tetapi sebagai laboratorium politik identitas dan emansipasi.
Etika Relasional dan Alternatif Politik dalam Rekonfigurasi Keluarga
Menurut Emmanuel Levinas, etika dimulai dari pengakuan terhadap kehadiran orang lain yang tidak dapat direduksi menjadi representasi atau kategori.
Dalam konteks keluarga, ini berarti mengakui ‘keanehan’, ketidakpastian, dan kelemahan sebagai bagian integral dari hubungan manusia.
Di tengah fragmentasi struktur keluarga akibat migrasi, urbanisasi, dan perubahan ekonomi, banyak keluarga di NTT yang mencoba menciptakan bentuk-bentuk baru dari solidaritas dan tanggung jawab. Anak-anak diasuh oleh saudara sepupu, kakek nenek, atau bahkan tetangga.
Hubungan keluarga tidak lagi didasarkan pada garis keturunan biologis, tetapi pada komitmen emosional dan moral.
Ini menegaskan argumen Rosi Braidotti (2013) bahwa subjek pasca-human lebih fleksibel, lebih inklusif, dan lebih sadar akan konektivitas antar hidup.
Selain itu, dalam dunia digital yang semakin mengglobal, komunikasi jarak jauh menjadi sarana untuk menjaga rasa kebersamaan.
Meskipun virtual, hubungan tersebut memiliki efek material: uang kiriman, doa bersama via video call, hingga dukungan emosional yang tetap terjaga.
Menurut Paul Virilio, kecepatan telah menggantikan kedalaman dalam pengalaman manusia modern, tetapi dalam konteks keluarga, kecepatan tersebut justru menjadi media penyelamat ikatan sosial.
Namun, kita juga harus waspada terhadap risiko individualisme digital yang menggerogoti solidaritas kolektif.
Dalam kondisi seperti ini, keluarga bisa menjadi laboratorium etika alternatif — tempat di mana nilai-nilai kepedulian, kerja sama, dan kesetaraan bisa dikembangkan tanpa harus tunduk pada norma-norma hegemonik.
Maka, dalam rangka Hari Keluarga Internasional 2025, mari kita rayakan keluarga bukan sebagai institusi yang sempurna, tetapi sebagai proyek etis yang terus berkembang.
Opini: Pemilihan Rektor Undana, Politik Primordial vs Politik Gagasan |
![]() |
---|
Opini: Urgensi Perda NTT Tentang Pengelolaan Muro dan Kearifan Lokal Lainnya |
![]() |
---|
Opini: Mengobati Luka Menata Harapan, Perdagangan Orang dalam Geliat Pembangunan NTT |
![]() |
---|
Opini: Jangan Takut pada One Piece, Rayakan Kreativitas dalam Semangat Kemerdekaan |
![]() |
---|
Opini: Wabah Rabies dan Tumpulnya Nurani terhadap Sesama |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.