Opini
Opini: Menimbang Moralitas Kristiani di Tengah Arus LGBT
Etika Kristen tidak boleh kehilangan akarnya yakni kebenaran Firman Tuhan namun juga tidak boleh kehilangan wajahnya yakni kasih yang menyembuhkan.
Oleh: Handri Ediktus, CMF
Tinggal di Skolastikat Hati Maria Kupang, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Isu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) telah menjadi topik kontoversial yang mendapat perhatian luas dalam berbagai lapisan masyarakat, termasuk dalam lingkungan keagamaan.
Perdebatan publik muncul seiring berkembangnya gerakan yang mendukung hak-hak LGBT, termasuk legalisasi pernikahan sesama jenis di beberapa negara.
Beberapa pihak mengkritisi perkembangan ini dan mengkhawatirkan dampaknya terhadap tatanan sosial.
Sementara itu, sejumlah penelitian mengkaji keterkaitan antara isu LGBT dengan aspek kesehatan masyarakat, seperti penyebaran HIV/AIDS, namun hasilnya masih memicu perdebatan.
Meskipun tantangan masih ada, komunitas LGBT tetap memperjuangkan pengakuan hak-hak mereka dalam masyarakat.
Fenomena LGBT dan Tantangannya bagi Iman Kristen
Fenomena LGBT telah berkembang pesat sejak sebelum revolusi seksual 1960-an, dimulai dengan penggunaan istilah yang negatif seperti "homoseksual" yang kemudian digantikan dengan istilah seperti "gay" dan "lesbian" pada 1970-an.
Meskipun akronim “LGBT” mulai digunakan pada 1988, hingga kini masih terdapat perbedaan dan penambahan huruf untuk mencakup lebih banyak identitas gender dan orientasi seksual, seperti Q (queer), I (interseks), dan A (aseksual).
Di dunia modern, isu LGBT tidak lagi terpinggirkan, dengan pernikahan sesama jenis yang dilegalkan di banyak negara dan perlindungan hukum terhadap orientasi seksual serta identitas gender yang semakin diperkuat.
Survei global 2021 menunjukkan 70 persen responden heteroseksual, sementara 3 persen mengidentifikasi diri sebagai homoseksual dan 1 persen sebagai panseksual atau omniseksual.
Perkembangan ini menjadi tantangan serius bagi iman Kristen, terutama terkait ajaran Alkitab yang mengajarkan bahwa hubungan seksual hanya sah dalam pernikahan heteroseksual.
Banyak umat dan pemimpin Gereja yang tetap berpegang pada pandangan tradisional bahwa homoseksualitas bertentangan dengan kehendak Allah dan merupakan dosa.
Namun, ada juga kalangan Kristen yang mendorong pembacaan ulang teks Alkitab dan lebih menekankan pendekatan pastoral yang penuh belas kasih.
Tantangan ini mengarah pada dilema moral, bagaimana mempertahankan kebenaran iman tanpa menghakimi, sekaligus mempraktikkan kasih tanpa mengabaikan prinsip etika iman.
Gereja dihadapkan pada kebutuhan untuk merefleksikan kembali cara menyampaikan kebenaran dengan kasih, dan menemukan pendekatan yang setia pada Alkitab namun tetap relevan dalam konteks zaman yang terus berkembang.
Dasar-Dasar Moral Kristiani
Etika Kristen berakar pada dua fondasi utama: kasih dan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai ciptaan yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Imago Dei).
Kasih, sebagaimana diajarkan Yesus dalam Injil Matius 22:37–40, adalah hukum tertinggi yang menjadi dasar bagi seluruh tindakan moral umat beriman: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”(Matius22:39).
Oleh karena itu, dalam merespons isu LGBT, Gereja dipanggil untuk tidak bersikap reaktif dengan kebencian, ketakutan, atau pengucilan.
Sebaliknya, Gereja harus menampilkan kasih yang jujur, tulus, dan penuh kebijaksanaan, kasih yang melihat setiap pribadi sebagai gambaran Allah yang layak dihormati dan didengarkan.
Namun, kasih dalam moralitas Kristen bukanlah kasih yang buta atau permisif.
Kasih sejati selalu berjalan beriringan dengan kebenaran dan tanggung jawab moral.
Dalam konteks ini, Gereja memiliki peran penting untuk menyuarakan ajaran moral dengan jelas dan tegas, termasuk mengenai pandangan Kitab Suci tentang seksualitas serta panggilan hidup yang sesuai dengan kehendak Allah.
Ketika manusia jatuh dalam dosa, mereka mengalami kerusakan dalam nilai-nilai moral yang mereka pegang, yang mendorong mereka untuk menentang Allah dan berusaha memuaskan keinginan mereka dengan cara yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya, termasuk dalam hal seksual.
Kerusakan moral ini bukanlah hasil dari rencana atau kehendak Allah, melainkan dampak dari dosa yang diwariskan secara turun-temurun, yang menyebabkan disorientasi seksual pada manusia.
Oleh karena itu, orientasi seksual yang tidak sesuai dengan ajaran Allah seperti homoseksualitas, inses, atau pedofilia bukanlah bagian dari rencana Tuhan.
Tantangan bagi Gereja, kemudian, bukan hanya menjaga kemurnian ajaran, tetapi juga menyampaikannya dengan sikap rendah hati, empati, dan keterbukaan, guna membangun dialog yang konstruktif.
Dalam ketegangan antara kasih dan kebenaran inilah, moral Kristen diuji dan dimurnikan.
Menjaga Keseimbangan antara Kebenaran dan Kasih
Tantangan terbesar bagi umat Kristen masa kini bukan sekadar dalam menegakkan doktrin, melainkan dalam menyampaikannya dengan hikmat di tengah dunia yang plural, sensitif, dan seringkali terluka.
Banyak individu LGBT mengalami trauma spiritual akibat penolakan atau penghakiman dari komunitas keagamaannya sendiri.
Ironisnya, Gereja yang seharusnya menjadi tempat merasakan kasih dan pemulihan, justru menjadi sumber luka batin bagi sebagian orang.
Karena itu, Gereja dipanggil untuk merefleksikan ulang pendekatan pastoralnya.
Alih-alih langsung mengutuk atau menolak, Gereja seharusnya hadir sebagai ruang aman untuk dialog, pendampingan rohani, dan proses pertobatan bukan dengan maksud memaksa seseorang berubah orientasi seksualnya, melainkan membantu setiap pribadi membuka diri terhadap kehendak Allah dalam perjalanan hidupnya, dengan segala kompleksitas dan pergumulan yang ada (Kumala Setiabrata 2023).
Tentu saja, langkah ini bukan sesuatu yang mudah. Diperlukan kerendahan hati, keberanian moral, serta kepekaan spiritual yang tinggi.
Gereja harus mampu menghindari dua ekstrem: liberalisme tanpa batas yang mengaburkan batas-batas etika, dan fundamentalisme kaku yang mengabaikan belas kasih Kristus.
Menemukan keseimbangan antara kebenaran dan kasih bukan berarti mengorbankan salah satunya, melainkan menyatukannya dalam terang Injil, demi memulihkan manusia seutuhnya.
Menuju Etika Kasih yang Menyembuhkan
Dalam dunia yang terus berubah, umat Kristen dihadapkan pada tantangan untuk merespons fenomena LGBT dengan kedewasaan iman dan kasih yang transformatif.
Etika Kristen tidak boleh kehilangan akarnya yakni kebenaran Firman Tuhan namun juga tidak boleh kehilangan wajahnya yakni kasih yang menyembuhkan.
Menegakkan moralitas Kristen bukan berarti bersikap kaku atau menghakimi, melainkan menggali kembali makna kasih Allah yang memandang setiap manusia sebagai ciptaan yang bernilai dan layak dipulihkan.
Refleksi ini tidak dimaksudkan untuk melonggarkan ajaran iman, melainkan untuk memurnikan sikap hati umat Kristiani agar mampu menjadi terang dan garam di tengah pergumulan zaman.
Gereja tidak dipanggil menjadi benteng yang tertutup, tetapi menjadi rumah yang menyambut, membimbing, dan mendampingi.
Di tengah isu LGBT, umat Kristen memiliki kesempatan untuk memperlihatkan iman yang tidak hanya benar secara doktrinal, tetapi juga indah dalam tindakan, iman yang berani berdialog, mengasihi tanpa syarat, dan tetap teguh berdiri dalam kebenaran Injil.
Inilah jalan etika kasih yang sejati, jalan yang menyembuhkan, bukan melukai. (*)
Simak terus berita POS-KUPANG.COM di Google News
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.