Opini
Opini: Partisipasi Semesta Wujudkan Pendidikan Bermutu untuk Semua di Era Teknologi
Perkembangan teknologi yang begitu cepat telah membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan.
Menurut laporan BPS dan Kemendikbudristek (2023), sekitar 23 persen satuan pendidikan di Indonesia masih belum memiliki akses internet yang layak, dan 18 persen guru tidak memiliki perangkat digital pribadi.
Kesenjangan ini berdampak langsung pada ketimpangan mutu pembelajaran. Kedua, transformasi digital dalam pendidikan menuntut guru untuk lebih dari sekadar mampu mengoperasikan teknologi.
Mereka juga perlu memahami strategi pedagogi digital—bagaimana mengajar secara efektif dengan menggunakan teknologi, bukan sekadar mengganti papan tulis dengan slide PowerPoint atau video.
Namun, tidak semua guru mendapatkan pelatihan yang memadai. Banyak guru, terutama dari generasi lebih senior, mengaku kesulitan beradaptasi dengan pembelajaran daring atau penggunaan Learning Management System (LMS).
Bahkan, dalam survei Puslitjakdikbud (2022), hanya 45 persen guru yang merasa percaya diri dalam Menyusun pembelajaran digital yang interaktif.
Partisipasi Semesta: Kunci Utama
Perkembangan teknologi yang begitu cepat telah membawa perubahan besar dalam dunia pendidikan.
Mulai dari cara guru mengajar, cara siswa belajar, hingga bagaimana materi disampaikan. Di tengah arus besar ini, pendidikan tidak lagi bisa ditopang hanya oleh satu dua aktor saja.
“Partisipasi semesta” yakni keterlibatan menyeluruh dari berbagai elemen masyarakat menjadi kunci utama untuk mewujudkan sistem pendidikan yang adaptif, inklusif, dan bermutu tinggi.
Pertama, Orang Tua: Pilar Pendampingan di rumah. Di era digital, peran orang tua meluas dari sekadar penyedia kebutuhan fisik menjadi mitra utama dalam proses belajar anak.
Orang tua harus memahami bahwa gawai dan internet bukan hanya untuk hiburan, tapi juga sarana belajar.
Maka, pendampingan menjadi penting terutama berkaitan dengan beberapa hal antara lain membatasi dan mengawasi penggunaan teknologi agar tidak disalahgunakan, membangun budaya belajar di rumah.
Seperti menyediakan waktu khusus belajar tanpa distraksi, serta menjadi fasilitator literasi digital, termasuk mengajarkan etika bermedia sosial dan sikap kritis terhadap informasi online.
Kedua, Komunitas lokal: Ruang Belajar yang hidup dan kontekstual. Komunitas lokal seperti kelompok pengajian, taman baca, bahkan warung kopi bisa menjadi wadah belajar non-formal yang relevan.
Di sinilah siswa bisa belajar nilai-nilai kehidupan, praktik kewirausahaan, hingga keterampilan sosial seperti coding, desain grafis, atau produksi konten digital sederhana.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.