Opini
Opini: Korupsi, Dari Kita, Oleh Kita, Untuk Mereka
Masyarakat sering kali mengeluh tentang korupsi, tetapi tanpa sadar juga ikut terlibat dalam praktiknya.
Mulai dari penggelembungan harga hingga permainan tender, semuanya merugikan negara dalam jumlah 1 kuadriliun rupiah.
Ketiga, kasus Jiwasraya dan Asabri menjadi pukulan telak bagi kepercayaan masyarakat terhadap BUMN.
Dana nasabah dan pensiunan tantara yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan, justru dikorupsi dengan modus investasi bodong.
Total kerugian negara mencapai lebih dari Rp 23 triliun, sementara para koruptor hanya dihukum sejenak sebelum kembali menikmati hasil jarahannya.
Data dari Transparency International menunjukkan bahwa Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun naik, dari skor 40 pada 2019 menjadi 34 pada 2023 dan kembali meningkat 3 poin ke angka 37 di tahun 2024.
Ini menegaskan bahwa upaya pemberantasan korupsi belum cukup efektif, terutama dengan melemahnya kewenangan KPK pasca-revisi UU KPK tahun 2019.
Untuk Mereka: Siapa yang Menang?
Dalam skema besar ini, jelas bahwa hanya segelintir orang yang menikmati hasil dari sistem yang korup.
Para politisi, pejabat, dan elit bisnis yang berkolusi dalam praktik korupsi tetap bisa hidup nyaman, bahkan setelah tertangkap.
Sementara itu, masyarakat yang menjadi korban harus menanggung mahalnya biaya listrik, harga BBM yang terus naik, serta kepercayaan yang kian menipis terhadap institusi negara.
Lihat saja bagaimana hukuman bagi koruptor di Indonesia sering kali lebih ringan dibandingkan dengan kejahatan kecil lainnya.
Mereka tetap bisa menikmati hidup mewah di dalam atau luar penjara, dengan uang hasil korupsi yang tak seluruhnya dikembalikan.
Fenomena ini semakin memperkuat anggapan bahwa hukum di Indonesia tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah.
Akhir ‘Season’ Liga Korupsi
Meskipun korupsi telah menjadi endemik, masih ada harapan untuk mengubah keadaan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.