Opini

Opini: Negara Ideal

Jika tidak, teori-teori hanya menjadi semacam idealisme yang mengawan, tanpa jembatan penghubung untuk dipahami secara utuh. 

Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Kris Ibu 

Oleh: Kris Ibu
Tinggal di Paroki Ponu - Timor Tengah Utara, NTT

POS-KUPANG.COM -  Adakah negara ideal? Ya, jika negara yang mampu membumikan nasihat-nasihat kebaikan ke tengah masyarakat. Apa artinya?

Secara lebih luas, meskipun secara hati-hati, dapat ditegaskan bahwa praktik merupakan manifestasi dari teori. Itu berarti, segala macam orthodoksi mesti bermuara pada orthopraksis, yang ideal mesti mewujud dalam yang konkrit. 

Jika tidak, teori-teori hanya menjadi semacam idealisme yang mengawan, tanpa jembatan penghubung untuk dipahami secara utuh. 

Praktik tanpa teori mengakibatkan kebutaan, tanpa arah dan patokan yang jelas, mudah tenggelam dalam pragmatisme. 

Sebaliknya, teori tanpa praktik mengakibatkan ekstasi yang dapat membawa kemabukan pada idealisme. 

Pada taraf yang ekstrim dan akut, akan ada prasangka dan permusuhan apabila terdapat demarkasi yang tegas antara teori dan praktik. 

Oleh karena itu, keduanya mesti diselaraskan. Praktik untuk menguji teori dan teori untuk memberi orientasi pada praktik.

Meskipun demikian, acapkali ada semacam kekecewaan di mana konkretisasi dari yang ideal jauh dari harapan. Atau, kerapkali praktik mengkhianati teori. 

Oleh karenanya, meski idealisme merupakan patokan, penting dicatat di sini bahwa mesti ada semacam pelampauan dari teori. 

Akhirnya, jalan yang ditempuh untuk mendamaikan keduanya adalah keluar dari pakem teoretis. Atau, keterbukaan pada interpretasi lain dan kemungkinan baru merupakan sebuah keniscayaan dari yang konseptual.

Dengan perkataan lain, setiap aksi dan gerakan sosial selalu dimulai dengan suatu visi atau idealisme yang menjiwai dan menariknya ke depan. 

Visi tersebut mendorong tanggung jawab dari mereka yang mengambil bagian di dalamnya. 

Visi tersebut mengubah aksi-aksi masa kini dan menafsirkannya dalam terang kemungkinan di masa yang akan datang ( John Fuellenbach: 2006, hlm. 28). 

Negara, seharusnya memosisikan diri dalam mewujudkan teori (yang ideal) dalam praksis keseharian. Seperti mencoba mempererat jarak antara kata-kata dan tindakan.

Kemendesakan Teori yang Berpraktis dalam Bernegara

Konsistensi antara teori dan praktik ini mesti menjadi patokan dan pegangan bagi mereka yang menjalankan roda pemerintahan. 

Konsep ideal dari negara yang coba dirumuskan dalam berbagai macam perundangan mesti bermuara pada konkretisasi di tengah dunia social kemasyarakatan. 

Selain itu, karya-kerja-kinerja pemerintahan yang dijalankan mesti diinspirasi dari idealisme bersama akan martabat bangsa yang luhur. Ketenggelaman pada yang satu akan mengakibatkan fanatisme, bahkan romantisasi yang tidak perlu.

Berhadapan dengan berbagai macam problem kemiskinan dan penderitaan di mana ketidakadilan menunjukkan taringnya di satu sisi dan begitu banyak orang susah dan menderita yang menjadi korban di pihak lain, negara dituntut untuk hadir. 

Negara, sesuai amanat undang-undang sejatinya mesti menarik keluar mereka yang terjerembab dalam kubang kemiskinan dan kesengsaraan. Negara mesti hadir dan terlibat di tengah-tengah mereka.

Pemegang tampuk kekuasaan tidak hanya membeberkan pidato atau mengumbar retorika yang mengundang decak kagum para pendengarnya. Ia tidak berhenti pada teori tentang option for the poor. 

Lebih dari itu, negara mesti merealisasikan apa yang dicanangkan para founding fathers lewat karya konkrit yang nyata. 

Negara mesti mengalami realitas penderitaan mereka dan memberikan kesembuhan di tengah keterlukaan anak bangsa. Tidak ada jarak antara kata-kata dan tindakan.

Bahkan, pada taraf yang lebih tinggi, negara mesti rela berkorban. Dalam tradisi kekristenan, pengorbanan diri Yesus, Sang Penyelamat, di salib adalah contoh paling nyata. Ia mencari manusia yang lemah dan menawarkan cinta dan kesetiaan-Nya.

Dengan itu, Allah menjadi pegangan hidup dan selalu diandalkan dalam kehidupan setiap orang beriman. 

Salib juga merupakan suatu gugatan Allah atas manusia. Allah menggugat manusia yang mapan hidupnya, yang sering menjalani gaya hidup lama di mana hak-hak orang lain dirampas dan direnggut dengan paksa. 

Salib menjadi tanda nyata Allah yang merangkul dan memberikan hidup kepada manusia, sekaligus mau menyatakan bahwa Allah dapat diandalkan.

Dengan itu, manusia dapat memulai suatu hidup yang baru. Hidup yang ditandai oleh rasa persaudaraan dan solidaritas di antara sesama manusia (Georg Kirchberger: 2012, hlm. 383).

Yesus Kristus selalu menyelaraskan dan mempertautkan antara teori dan karya-Nya di dunia. Ia dengan sadar mengaktualisasikan teori perihal Kerajaan Allah dengan berpaling pada mereka yang menjadi korban dari kekuasaan yang tamak. 

Keberpalingan Yesus kepada kaum tersisih ini hendak menyatakan bahwa warta Injil mesti tiba pada praksis pemberdayaan bagi mereka yang rentan menjadi korban.

Inspirasi inilah yang mesti ditimba oleh para pemegang tampuk kekuasaan negara.

Tanpa pemahaman model ini dan kesadaran bersama dari para penggerak pemerintahan, mustahil kita memimpikan negara yang adil dan makmur. Bahkan, untuk bermimpi saja, warga negara dilarang karena negara begitu represif terhadap tuannya sendiri, yakni rakyat. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved