Opini
Opini: Merawat Keunikan Bahasa Kalela dalam Keberagaman Dialeknya
Namun, Bahasa Kalela menghadapi tantangan besar dalam era globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat.
Oleh: Yoseph Yoneta Motong Wuwur
Warga Lembata, Nusa Tenggara Timur
POS-KUPANG.COM - Bahasa Kalela, yang dituturkan di Kecamatan Atadei dan Naga Wutung, Kabupaten Lembata, NTT, memiliki tiga dialek berbeda: Katakeja (Kalikasa), Lerek, dan Boto.
Meskipun terdapat perbedaan signifikan antara dialek-dialek ini, seperti dalam pengucapan, mereka tetap saling terkait dan mencerminkan kekayaan budaya yang melekat pada masyarakatnya.
Perbedaan antar dialek Kalela mencapai 68 hingga 75 persen, menunjukkan bahwa bahasa ini adalah sistem linguistik yang kompleks dan terisolasi, berbeda dengan bahasa lain seperti bahasa Lamaholot dan bahasa Kedang.
Namun, Bahasa Kalela menghadapi tantangan besar dalam era globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat.
Pengaruh bahasa nasional dan asing mengancam keberadaannya, dan jika tidak dilestarikan dengan baik, bahasa ini berisiko punah bersama budaya dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya.
Oleh karena itu, penting untuk menjaga eksistensi Bahasa Kalela agar tetap lestari.
Pelestarian Bahasa Kalela harus dimulai dari generasi muda. Mengajarkan bahasa ini di sekolah, membiasakan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari, serta mendokumentasikannya dengan teknologi adalah langkah-langkah penting untuk melestarikan bahasa ini.
Bahasa Kalela, dengan keberagaman dialeknya, harus menjadi bagian dari kebanggaan kita agar tetap hidup dan berkembang di masa depan.
Warisan Lisan Tiga Dialek yang Menyatu
Bahasa Kalela, yang dituturkan di Kecamatan Atadei dan Naga Wutung, Kabupaten Lembata, NTT merupakan harta budaya yang berharga.
Tiga dialek utama, Katakeja (Kalikasa), Lerek, dan Boto, menghiasi kehidupan masyarakat setempat, masing-masing dengan kekhasan yang memancarkan identitas lokal mereka.
Setiap kata yang diucapkan menggambarkan kedekatan dengan tanah dan tradisi.
Dialek Katakeja (Kalikasa), Lerek, dan Boto memiliki perbedaan yang signifikan, namun tetap saling berhubungan. Meskipun ada jarak dalam pengucapan dan kosakata, ketiganya berbagi akar budaya yang sama.
Hal ini menunjukkan bagaimana bahasa menjadi alat komunikasi yang mengikat masyarakat meski ada perbedaan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.