Opini
Opini: Pramoedya di Seminari Oepoi
Daftar pertama dari penerbitan ulang ini adalah Tetralogi Buru, yang masa pemesanannya masih dibuka sampai awal bulan ini.
Oleh: Mario F. Lawi
Komunitas Sastra Dusun Flobamora
POS-KUPANG.COM - Pada 6 Februari tahun 2025 ini, masyarakat Indonesia merayakan 100 tahun kelahiran Pramoedya Ananta Toer.
Sejumlah kegiatan dilakukan oleh komunitas-komunitas pembaca untuk memperingati 100 tahun peringatan kelahiran satu-satunya penulis Indonesia yang dinominasikan menerima Nobel Sastra itu.
Lentera Dipantara, penerbit yang dikelola keluarga Pram, misalnya, mengumumkan rencana penerbitan ulang karya-karya Pram dengan edisi sampul 100 tahun perayaan.
Daftar pertama dari penerbitan ulang ini adalah Tetralogi Buru, yang masa pemesanannya masih dibuka sampai awal bulan ini.
Ikut bergembira dalam perayaan tersebut, izinkan saya membagikan tulisan kecil ini, garis besar lintasan pertemuan saya dengan karya-karya Pramoedya, dan salah satu pengalaman kecil saya ketika berusaha menularkan pengalaman membaca karyanya ketika mengajar di Seminari Menengah St. Rafael, Oepoi.
Bersama kawan-kawan angkatan di St. Rafael, saya mengenal sebagian besar karya Pramoedya saat berada di tahun keempat, kelas III, melalui Lamalera Book Fair yang diselenggarakan di Aula El Tari, Kupang, sekitar semester pertama tahun 2009.
Selain buku-buku Lamalera, waktu itu juga dipamerkan buku-buku dari penerbit lain seperti Bilangan Fu dan buku-buku terbitan Gramedia, serta sejumlah karya Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan Lentera Dipantara.
Pameran tersebut tentu saja menggembirakan, karena, meskipun Pram merupakan sastrawan besar Indonesia, karya-karyanya tidak kami temukan di perpustakaan seminari.
Sebagai anak-anak seminari yang hanya dibekali uang saku seadanya oleh Prefek Kelas, membeli buku-buku Pramoedya tentu saja harapan yang waktu itu tidak terwujud.
Sebagai penghibur hati, saya dan beberapa teman membeli buku- buku Tom Clancy, yang pada saat itu dijual Rp10.000 setiap judul. Buku-buku itu pun tidak langsung kami baca, karena waktu itu kami mesti fokus mempersiapkan diri mengikuti ujian nasional.
Baru setelah melanjutkan kuliah ke Jurusan Ilmu Komunikasi Undana, saya mengumpulkan satu demi satu buku-bukunya yang tersedia, terutama setelah menerima penghargaan Terbaik Pertama Taruna Sastra bagi Generasi Muda dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kemendikbud RI.
Menggunakan uang hadiah yang saya terima, saya membeli buku-buku tebalnya yang selama bertahun-tahun tidak terbeli, terutama Tetralogi Buru, Arus Balik, dan Arok Dedes, serta sejumlah karya tipisnya.
Ketika melanjutkan studi ke Program Magister Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma, beberapa karya Pram menjadi bacaan tambahan maupun bacaan wajib untuk sejumlah kelas mata kuliah: Tetralogi Buru dan Gadis Pantai untuk kelas Kajian Pascakolonial yang diampu Katrin Bandel, dan Mereka yang Dilumpuhkan untuk kelas Sastra dan Religi yang diampu Gregorius Budi Subanar dan Emmanuel Subangun.
Mereka yang Dilumpuhkan bahkan disediakan langsung oleh Pak Bangun, sapaan kami terhadap Emmanuel Subangun, dalam edisi Balai Pustaka tahun 1951.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.