Opini

Opini: Kemiskinan Ekstrem di NTT dalam Realitas Sosial

Garis kemiskinan ini mencerminkan jumlah minimum yang dibutuhkan seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, termasuk makanan

|
Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/HO
ILUSTRASI - Peta Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

Teori strukturalisme menyoroti bagaimana faktor-faktor sosial seperti budaya patronase, ketimpangan distribusi sumber daya, dan rendahnya tingkat literasi ekonomi memperkuat kondisi kemiskinan ekstrem.

Selain itu, teori ketergantungan (dependency theory) relevan dalam memahami bagaimana keterbatasan infrastruktur dan kurangnya investasi di sektor produktif seperti minimnya industri pengolahan hasil pertanian dan perikanan;

Terbatasnya infrastruktur pendukung sektor produktif, kurangnya dukungan modal dan kredit bagi UMKM lokal, investasi yang lebih berorientasi pada sektor konsumtif, minimnya pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, membuat NTT tetap bergantung pada bantuan pusat.

Kebijakan yang tidak mempertimbangkan karakteristik sosial-ekonomi lokal dapat memperparah ketimpangan ini, membuat masyarakat miskin tetap terjebak dalam situasi yang sulit untuk diatasi.

Beberapa faktor mendasar menyebabkan kemiskinan ekstrem di NTT tetap tinggi. Pertama, keterbatasan infrastruktur dan aksesibilitas menjadi kendala Utama dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. 

Banyak daerah terpencil di NTT yang sulit dijangkau, sehingga distribusi barang dan jasa tidak optimal. Kedua, rendahnya kualitas pendidikan dan keterampilan tenaga kerja juga menjadi faktor penyebab.

Tingginya angka putus sekolah serta keterbatasan akses terhadap pendidikan yang layak menghambat masyarakat dalam meningkatkan taraf hidup mereka. Anggota Komisi X DPR RI, Anita Gah, mengungkapkan bahwa jumlah anak putus sekolah di NTT mencapai sekitar 200 ribu anak.

Kondisi geografis NTT yang terdiri dari banyak pulau kecil dan terpencil menyulitkan akses ke fasilitas pendidikan. 

Banyak sekolah terletak di daerah yang sulit dijangkau, sehingga siswa harus menempuh jarak yang jauh dan medan yang sulit untuk mencapai sekolah. Hal ini sering kali menyebabkan ketidakhadiran siswa atau bahkan putus sekolah.

Selain itu, sektor pertanian yang menjadi mata pencaharian utama sebagian besar penduduk masih mengalami kendala serius, seperti rendahnya produktivitas akibat teknik bercocok tanam yang masih tradisional dan minimnya dukungan teknologi.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi NTT menunjukkan bahwa produksi padi di beberapa kabupaten mengalami fluktuasi. 

Misalnya, produksi padi di Kabupaten Sumba Barat tercatat sebesar 30.574 ton pada tahun 2021, menurun menjadi 30.180 ton pada tahun 2022, dan meningkat sedikit menjadi 31.146 ton pada tahun 2023.

Demikian pula, di Kabupaten Sumba Timur, produksi padi menurun dari 54.189 ton pada tahun 2021 menjadi 52.284 ton pada tahun 2022. Fluktuasi ini mencerminkan tantangan dalam mempertahankan dan meningkatkan produktivitas pertanian di NTT.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan produktivitas pertanian di NTT, termasuk mendorong pemanfaatan teknologi pertanian modern. 

Misalnya, Presiden RI mendorong penggunaan mesin tanam jagung (planter) di lahan seluas 53 hektare di NTT sebagai langkah awal untuk meningkatkan efisiensi dan hasil produksi.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved