Opini
Opini: Orang-Orang Gila Tekonologi
Di zaman ini, bukan lagi cogito ergo sum melainkan premo ergo sum (saya klik maka saya ada). Kehadiran kita ada sejauh kita meng-klik..
Oleh: Remigius Taek
Anggota Komunitas Pikiran Fakultas Filsafat Unwira Kupang - NTT
POS-KUPANG.COM - Kemajuan teknologi tanpa disadari telah turut ambil bagian dalam perkembangan diri setiap individu baik itu dari segi moral, etika, psikis, maupun intelektual.
Hemat saya, handphone ( HP) telah membawa perubahan yang signifikan bagi perkembangan diri setiap orang. Hanya dengan HP orang perlahan meninggalkan televisi, radio, surat kabar, bahkan buku yang dianggap sebagai jendela dunia.
Handphone telah menggantikan semuanya itu dan memberikan tawaran lebih menarik dan nyaman bagi setiap penggunanya. Dalam HP kita dapat menjumpai aplikasi-aplikasi menarik seperti facebook, WhatsAap, Tiktok, Instagram, dan sebagainya.
Banyak hal baik yang kita dapat dari aplikasi-aplikasi tersebut. Akan tetapi saya melihat banyak dari kita orang Indonesia pada umumnya dan orang-orang Nusa Tenggara Timur khususnya yang sudah “gila” dan tidak tahu menempatkan diri di hadapan teknologi.
Ada satu kalimat yang sangat terkenal yakni Cogito Ergo Sum yang artinya Aku Berpikir Maka Aku Ada. Artinya bahwa kehadiran kita ada sejauh kita berpikir.
Di zaman ini, bukan lagi cogito ergo sum melainkan premo ergo sum (saya klik maka saya ada). Kehadiran kita ada sejauh kita meng-klik, sejauh kita aktif di media sosial, sejauh kita berinteraksi di media sosial.
Pada saat itu juga terjadi peralihan dari homo sapiens (manusia bijaksana) menuju homo digitalis (manusia jari).
Sehari saja jika jari kita tidak melakukan klik pada layar HP, kita merasa seolah-olah kita adalah manusia yang tidak update, manusia yang tidak gaul, dan lainnya. Diri kita seperti bergantung pada klik.
Ketergantungan pada HP telah membuat kita seperti orang gila yang kehilangan akal sehat. Saat ini banyak dari kita yang kehilangan daya berpikir kritis.
Coba kita bertanya kepada setiap orang di sekitar kita terlebih kepada mereka yang sedang dalam masa studi. Berapa banyak halaman buku yang kamu baca setiap hari? Berapa jam yang kamu habiskan di hadapan layar HP hanya untuk scroll Tiktok, atau chattingan di WA, Fb dan Ig?
Ketika kita tidak membiasakan diri untuk membaca, saat itu juga kita kehilangan daya berpikir kritis.
Melalui banyak membaca kita mengasah otak kita, menambah pengetahuan, dan mampu berpikir secara kritis dalam menghadapi sebuah persoalan.
Ketergantungan terhadap HP juga membuat kita kehilangan etika dalam bermedia sosial. Dalam live Tiktok, postingan-postingan di facebook dan instagram, kita menemukan ujaran-ujaran kebencian yang ditujukan kepada individu atau kelompok tertentu berdasar suku, agama, ras, dan golongan.
Kita bahkan tidak sadar ikut ambil bagian dalam meneruskan berita bohong (hoaks) kepada orang lain karena ketidaktelitian kita dalam mengolah informasi.
Contoh dari hal ini adalah tersebarnya pesan berantai di WA yang mengatakan bahwa Rumah Sakit Mamami Kupang telah penuh dengan pasien yang terinfeksi virus HMPV yang gejalanya hampir sama dengan virus corona.
Berita ini tersebar begitu cepat bahkan sampai ke kampung saya yang membuat mereka mulai merasa gelisah dan takut.
Beruntung bahwa pihak Rumah Sakit cepat mengklarifikasi hal tersebut sehingga banyak orang tidak termakan hoaks. Kehilangan etika bermedia sosial membuat orang kurang menghargai privasi individu yang lain.
Orang dengan bebas mengambil gambar orang lain atau dengan diam-diam mengambil video orang lain lalu memposting di akun media sosialnya.
Bahkan yang lebih parah dari ketiadaan etika bermedia sosial adalah over sharing dan toxic positivity.
Mereka yang masuk dalam golongan ini adalah orang-orang yang hampir semua aspek pribadinya diunggah di media sosial tanpa melakukan pertimbangan.
Contoh nyata dari hal ini bisa kita lihat dalam live-live Tiktok atau pengguna Fb pro. Hanya untuk mendapatkan uang dari Tiktok atau dari meta banyak orang tidak lagi menjaga privasi mereka sendiri bahkan privasi orang lain.
Misalnya ada orang yang kecelakaan lalu lintas dan mengalami luka parah, ada orang yang cenderung tidak peduli untuk membantu tetapi malah memvideokan kejadian untuk lalu dijadikan sebagai konten.
Atau hal lain misalnya saya masuk ke sebuah restoran dan memesan makanan dan minuman. Sebelum saya makan dan minum terlebih dahulu saya mengambil gambar lalu memuatnya di media sosial.
Saya lalu melihat keberadaan saya di restoran itu bukan untuk memenuhi keinginan saya sebagai orang yang sedang lapar.
Akan tetapi lebih kepada keinginan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa saya sedang berada di sebuah restoran dan memesan makanan dan minuman yang mahal.
Ini adalah sebuah kegilaan yang dianggap waras oleh menusia-manusia sekarang. Menghadapi “kegilaan” manusia kontemporer terhadap teknologi, baiklah jika kita berusaha agar diri kita tidak terjebak dalam zona nyaman teknologi.
Menghadapi bahaya hilangnya sikap berpikir kritis, hendaknya kita berjuang untuk membaca buku dan mengasah intelektual kita agar kita tidak kelihatan “bodoh” di hadapan teknologi.
Perlu adanya keutamaan dalam diri untuk berinteraksi di media sosial dan berusaha untuk membatasi diri dalam menggunakan HP.
Juga masih banyak cara lain yang dapat membantu kita agar kita tidak disebut sebagai orang-orang “gila” teknologi melainkan disebut orang-orang waras teknologi. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.