Wawancara Eksklusif
Wawancara Eksklusif Dilema Antara Mempertahankan Budaya dan Melepaskan
Saya kira kurang lebih satu minggu ini kita dikejutkan dengan berita di medsos, macam-macam yang mengaitkan sebuah peristiwa bundir
Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Rosalina Woso
Belis ini kan kalau kita mau ngomong, akhirnya menjadi beban kedua orang ini karena umpamanya saja, ada belis, tidak bisa terpenuhi, dia mengutang. Mengutang berarti yang akan bertanggung jawab si anak laki-laki dan perempuan ini.
Rumah tangga dalam tahun-tahun pertama mereka akan dalam dalam sebuah kondisi untuk melunasi. Jadi ini yang akan kita bicarakan tentang bagaimana sebuah proses itu akan menolong anak-anak kita untuk perjalanan kedepan.
Kalau mereka tiba-tiba harus berkelahi dalam rumah dan katakan oh ini kau punya belis besar, akhirnya kita menciptakan sebuah kondisi "neraka" bagi anak-anak kita.
Dengan adanya permintaan belis di awal itu?
Emi : Iya, dan memang ini adalah sebuah dilema antara sebuah kondisi mempertahankan budaya dan sebuah kondisi bagaimana kita membuat ini menjadi lebih mudah dan saya yakin bisa berjalan.
Kembali kepada benih kekerasan berbasis gender, berarti ada tidaknya belis, tidak ada kaitan dengan kekerasan berbasis gender?
Ansy : Saya bicara dari pengalaman kami mendampingi korban kekerasan dalam rumah tangga dan korban kekerasan berbasis gender lainnya bahwa ada kontribusi di sana. Jadi kenapa tadi saya bilang belis menjadi pilihan?
Karena belis ini namanya budaya sifatnya dinamis ya, bentukan manusia bukan diberikan oleh Tuhan, jadi dia harus betul-betul mengikuti perkembangan zaman sehingga tidak melahirkan kekerasan berbasis gender karena kalau bicara belis itu kan yang kita paham adalah pemberian dari laki-laki kepada perempuan dalam konteks kultur patriarkat.
Dalam budaya laki-laki kita melihat bahwa perempuan itu menjadi milik dari laki-laki sehingga kekerasan berbagai macam bisa saja terjadi, "belis berubah menjadi beli". Itu kenapa terjadi? Karena ada gap pemahaman antara kelompok yang tua dan yang muda dan juga masyarakat pada umumnya.
Ada pergeseran-pergeseran itu. Saya kira kita paham lah, bukan saja ada di Rote, Sabu, Timor, Sumba, kasus itu terlalu banyak dan alasan belis itu juga sudah meraup hak dari seorang anak perempuan untuk berumah tangga.
Dalam budaya tertentu, perempuan di daerah tertentu itu menjadi kesulitan mendapatkan haknya untuk menikah hanya karena persoalan belis.
Selain bisa menimbulkan kekerasan berbasis gender, belis itu pilihan.
Betul tadi yang dibilang mama Emi bahwa ini tidak lahir begitu saja, ini ada nilai luhur untuk menjaga kekerabatan, untuk menghormati orang tua kemudian mengikatsatukan keluarga sehingga keluarga itu juga ada dalam sebuah komunal yang terus melakukan gotong-royong.
Biasanya kita kumpul keluarga itu karena kita punya keterikatan-keterikatan dari yang awalnya tidak punya keterikatan secara darah dan daging akhirnya terikat sebagai sebuah komunal dan itu memang harus dijaga karena itu adalah bentukan sosial yang ada di Indonesia ataupun kultur kita tetapi saya mau bilang bahwa semua yang dibuat oleh manusia itu harus memberi manfaat baik bagi masyarakat tersebut jadi kalau adat istiadat budaya yang baik itu kemudian diadaptif dengan perkembangan zaman dan melahirkan sesuatu yang positif saya kira tidak masalah.
Masalahnya dikritisi ketika kultur itu tidak adaptif dan berdampak buruk karena waktu dibuat dalam konteks demikian.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.