Wawancara Eksklusif
Wawancara Eksklusif Dilema Antara Mempertahankan Budaya dan Melepaskan
Saya kira kurang lebih satu minggu ini kita dikejutkan dengan berita di medsos, macam-macam yang mengaitkan sebuah peristiwa bundir
Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Rosalina Woso
Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Michaella Uzurasi
POS-KUPANG.COM, KUPANG - Seiring berkembangnya zaman, belis menjadi sebuah dilema karena sudah mengalami pergeseran makna dari yang tadinya simbol penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan, menjadi ajang adu gengsi bahkan menjadi sumber ekonomi.
Ketua DPRD Provinsi NTT, Ir. Emelia J. Nomleni dan Direktris LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara membahas hal ini dalam Podcast Pos Kupang, Senin,(20/01/2025).
Seperti apa pandangan dua tokoh perempuan NTT ini terhadap belis, berikut cuplikan wawancara eksklusif bersama Pos Kupang.
Belis perempuan NTT kita sebut sebagai salah satu faktor yang menimbulkan benih kekerasan berbasis gender, bagaimana anda melihat ini?
Baca juga: Wawancara Eksklusif Cawagub Jakarta Rano Karno: Gua Kayak Dibisikin almarhum Babeh
Ansy : Baik. Saya kira kurang lebih satu minggu ini kita dikejutkan dengan berita di medsos, macam-macam yang mengaitkan sebuah peristiwa bundir dengan belis.
Saya mau bilang bahwa belis ini sesuatu yang mempunyai nilai mulia, yang agung, yang luar biasa, yang luhur, yang adalah bagian dari adat istiadat di Nusa Tenggara Timur.
Hampir semua wilayah punya yang namanya belis dengan tujuan yang mulia dan baik tentunya, tetapi kalau kita mencermati ke sininya saya kira ada sebuah fenomena dimana ada tuntutan agar belis itu bisa adaptif.
Harus bisa menyesuaikan dengan modernisasi yang ada karena kalau tidak, itu juga punya dampak terhadap kekerasan, pelanggengan terhadap kekerasan berbasis gender.
Apa itu kekerasan berbasis gender? Kekerasan berbasis gender itu sebuah tindakan, sebuah sikap yang dilakukan baik secara individu maupun komunal atau masyarakat yang melihat bahwa seseorang atau individu baik itu laki atau perempuan punya potensi yang tidak setara jadi dalam ketidaksetaraan itulah bisa melahirkan yang namanya diskriminasi, stereotype dan lain-lain, cara pandang, karena misalnya dalam konteks belis ini orang menilai bahwa si A itu sudah "dibeli" sebelum dia masuk dalam jenjang pernikahan sehingga dia bisa diapa-apain, terserah.
Dia sudah jadi milik saya, dia seperti property, seperti barang sehingga saya mau apakan dia itu hak saya. Padahal cara pandang seperti itu cukup keliru karena seperti yang saya bilang tadi belis itu mengandung unsur yang sangat mulia. Memuliakan perempuan.
Jadi ketika seorang perempuan menikah itu harus ada belis?
Ansy : Saya kira belis atau adat istiadat ini dalam konteks pernikahan, ini adalah pilihan karena sahnya sebuah pernikahan itu bukan karena adanya belis dan tidak ada belis. Bukan.
Sahnya pernikahan itu kan kalau dilakukan seturut dengan agamanya masing-masing dan dicatatkan di catatan sipil jadi pilihan mau turut pada konteks adat melalui proses belis dan lain-lain, itu pilihan. Apakah kita mau menikah dengan menggunakan proses adat atau tidak.
Intinya kalau negara kita itu sudah hadir lewat regulasi Undang-Undang Perkawinan yang mengatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bahagia dan sejahtera tetapi dalam implementasinya disebut sah kalau dilakukan seturut dengan agamanya. Jadi menggunakan mekanisme adat dalam perkawinan itu pilihan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.