Wawancara Eksklusif

Wawancara Eksklusif Dilema Antara Mempertahankan Budaya dan Melepaskan 

Saya kira kurang lebih satu minggu ini kita dikejutkan dengan berita di medsos, macam-macam yang mengaitkan sebuah peristiwa bundir

Penulis: Michaella Uzurasi | Editor: Rosalina Woso
POS-KUPANG.COM/MICHAELLA UZURASI 
Ketua DPRD Provinsi NTT, Ir. Emelia J. Nomleni, Direktris LBH APIK NTT, Ansy Damaris Rihi Dara dan host Koordinator Liputan Pos Kupang, Novemy Leo dalam Podcast Pos Kupang, Senin, (20/01/2025).  

Artinya bisa digunakan bisa tidak? 

Ansy : Iya. 

Anda setuju? 

Emi : Bagi saya sebenarnya kalau kita bicara belis ini kita sedikit ke belakang. Tentu leluhur kita menetapkan untuk ada sebuah proses di dalam budaya itu ada pertimbangan. Dia tidak muncul tiba-tiba karena ini pertimbangan panjang.

Bahkan Alkitab pun, kita contoh Yakub, dia mau mengambil Rahel saja dia menunggu begitu lama bahkan dikasih kakaknya (Lea) sampai ada pembantunya. Itu terlihat seperti biasa tapi sebenarnya itu bagian dari sebuah proses.

Nah proses ini apakah nanti Yakub juga memperlakukan isterinya dengan tidak baik? Tidak. Dia sangat mencintai isterinya, dia mau melakukan apa saja. Itu sebuah gambaran sehingga bagi saya soal belis ini mari kita melihatnya dengan kacamata yang lebih terbuka karena menetapkan belis pada waktu itu, seluruh Indonesia dan di seluruh NTT kita punya yang namanya belis.

Sebutannya macam-macam makanya kita kenal di Alor ada Moko, itu bagian dari sebuah proses. Tentu ada pertimbangan memberikan sebuah gambaran tentang anak perempuan kita ini.

Dia tidak hanya sebagai seorang anak perempuan tapi di dalam rumah karena budaya yang hari ini kita bilang patriarki, di dalam rumah dia ikut bertanggung jawab bersama ibunya untuk mengatur rumah dan ketika dia harus keluar, ada keinginan orang tua untuk memberikan gambaran, bukan berarti anak laki-laki tidak, karena semua meminum air susu ibu, ibu yang membersarkan tetapi ada sebuah penghormatan. 

Sekarang ini menuju ke sebuah waktu, kita melihat ini sebagai juga, saya minta maaf, ini memang sangat sensitif, ini menjadi sumber ekonomi akhir-akhir ini, ataupun tidak, tetapi penetapan-penetapan itu menjadi sesuatu yang seperti itu dan pada akhirnya juga hari ini ada banyak wilayah tidak lagi membuat belis itu sebagai sebuah persyaratan yang orang bilang terjadi semacam transaksi.

Tetapi belis itu tetap dijalankan sebagai bagian dari budaya tetapi dengan kesepakatan-kesepakatan yang membuat budaya itu tetap jalan tetapi juga proses untuk anak-anak kita itu tetap berjalan sehingga kalau kakak Ansy bilang menjadi sebuah pilihan, itu juga bisa menjadi sebuah pilihan, oh ini ada aturan, ada budaya di kita yang kita hormati. 

Nah ini cara pandangnya tidak juga satu sisi tapi ada banyak sisi yang kita lihat, belis ini apa sih sebenarnya.

Tapi kalau saya berpikir bahwa leluhur kita, orang tua kita dengan berbagai kearifan lokal, menetapkan belis yang hari ini kita bilang belis, itu bukan tiba-tiba tetapi mereka ada dalam sebuah pemikiran yang pada waktu itu menjadi sebuah pembenaran. 

Ada banyak orang juga memakai belis tapi keluarga suami dan suaminya sendiri sangat mencintai isterinya. Ini soal perlakuan bagi saya. Kalau misalnya saya memberikan belis dan saya anggap bahwa ini isteri saya sudah saya beli, berarti anda sesungguhnya tidak sedang mencintai isteri anda. 

Berarti tergantung mindset juga ya? 

Emi : Tergantung mindset kalau menurut saya karena tujuannya bukan soal belis. Tujuannya adalah saya mencintai dia dan saya ingin memperistri dia berarti saya akan memperlakukan dia dengan sangat baik. Jadi itu juga sebuah perjuangan rasa cinta.

Halaman
1234
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved