Opini

Opini - Ujian Nasional Versus AKM: Apakah Kita Perlu Kembali ke UN?

Sejak tahun 2021, Asesmen Kompetensi Minimum ( AKM ) resmi diberlakukan di Indonesia untuk mengganti sistem Ujian Nasional (UN).

|
Editor: Alfons Nedabang
POS-KUPANG.COM/HO
Dosen Universitas Timor (Unimor), Lidwina Felisima Tae. 

Oleh: Lidwina Felisima Tae
Dosen Universitas Timor (Unimor)

POS-KUPANG.COM - Sejak tahun 2021, Asesmen Kompetensi Minimum ( AKM ) resmi diberlakukan di Indonesia untuk mengganti sistem Ujian Nasional (UN). Pemberlakuan AKM ini menandai reformasi evaluasi pendidikan Indonesia yang dirumuskan dalam episode 1 pada Kurikulum Merdeka Belajar. 

Setelah diterapkan selama 3 tahun, pelaksanaan AKM mulai mendapatkan kritik dari publik, baik itu dari dari kalangan orang tua, guru hingga masyarakat luas. Kritikan ini semakin menggema, khususnya di berbagai plaform media sosial.

Pergantian menteri pada kabinet Merah-Putih presiden Prabowo  juga turut menjadi pemantik perdebatan publik mengenai efisiensi AKM dan ide untuk kembali menerapkan Ujian Nasional

UN dan Permasalahannya

Jika melihat sejarah pelaksanaannya, evaluasi pendidikan nasional di Indonesia pada tingkat dasar dan menengah telah mengalami beberapa perubahan dari masa ke masa.

Di tahun 1965 misalnya, Indonesia menerapkan sistem Ujian Negara dimana ujian dilaksanakan secara nasional, serentak, dan terstandardisasi oleh pemerintah pusat.

Sejak saat itu, sistem evaluasi pendidikan selalu mengalami reformasi, namun esensi dari pelaksanaannya masih sama, yaitu untuk menentukan kelulusan siswa dan mengkaji kualitas pendidikan di Indonesia. 

Berbagai laporan ilmiah, opini, hingga berita di media massa, seringkali mengangkat isu umum yang terjadi pada pelaksanaan UN. Beberapa isu ini di antaranya, pola pembelajaran di kelas akhir (kelas 9 dan 12) yang lebih berorientasi pada bagaimana menaklukkan soal UN hingga tekanan psikologis yang dialami siswa.

Praktik kebocoran soal yang cukup marak juga menandakan sistem UN yang cenderung rapuh. Dari segi konten soal, UN masih menggunakan satu jenis soal saja: pilihan ganda (PG) yang cenderung fokus untuk mengukur pengetahuan siswa di level kognitif 1 dan 2 (mengetahui dan memahami), menyisakan ruang yang sedikit untuk mengukur proses berpikir tingkat tinggi siswa (HOTS).

Selain itu, penggunaan soal PG juga bisa menimbulkan bias, misalnya ketika siswa hanya secara kebetulan memilih jawaban yang benar.
 
AKM dan Kelemahannya

AKM sedikit memberi angin segar bagi sistem asesmen di Indonesia ketika diperkenalkan pertama kali di tahun 2019 dan mulai diberlakukan di tahun 2021. Dokumen kajian akademik AKM menjabarkan dengan jelas dasar pemikiran mengapa AKM perlu dilaksanakan.

Setidaknya ada 2 hal, yaitu mengenai kebutuhan keterampilan yang dibutuhkan dunia saat ini (keterampilan abad 21) dan refleksi skor PISA siswa Indonesia selama 22 tahun terakhir.

AKM menawarkan beberapa tranformasi mekanisme ujian yang cukup signifikan, mulai dari tujuan, mekanisme, hingga jenis soal.

Pemerintah secara eksplisit menekankan bahwa AKM bukan bertujuan untuk menentukan kelulusan siswa, melainkan merupakan upaya pemerintah untuk menilai kompetensi minimum siswa yang kemudian bisa memberikan informasi bagi para stakeholder.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved