Opini

Opini: Pesan A Christmas Carol Bagi Guru Umat Manusia

Dalam gema setiap lagu, kita diajak merenung dan membuka hati, mengingatkan kita untuk kembali ke nilai-nilai kasih, perdamaian,

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/Oby Lewanmeru
Dr. Darmin Mbula, OFM 

Oleh: Dr. Darmin Mbula, OFM
Ketua Presidium Majelis Nasional Pendidikan Katolik

POS-KUPANG.COM - Selama Desember, angin musim membawa kembali gula gula, lagu-lagu Natal yang menyejukkan hati, mengalun lembut melalui tiap sudut kota dan desa, kampung seperti A Christmas Carol  yang mengajak kita berkelana dalam kenangan dan harapan. 

Melodi-melodi itu menyentuh jiwa kita untuk kembali ke Betlehem, ke sebuah malam yang penuh cahaya dan damai, di mana kisah kelahiran membawa kehangatan di tengah dinginnya dunia. 

Setiap bait lagu mengingatkan kita akan kasih yang tak terbatas, tentang perubahan diri yang bisa dimulai dari hati yang rendah dan penuh pengertian, seperti perubahan yang dialami Scrooge. 

Dalam gema setiap lagu, kita diajak merenung dan membuka hati, mengingatkan kita untuk kembali ke nilai-nilai kasih, perdamaian, dan harapan yang terkandung dalam kisah Natal yang abadi. 

Inilah panggilan jiwa bagi guru, untuk memanusiakan anak didik dengan membimbing mereka menjadi pribadi yang penuh empati, peduli terhadap sesama, dan sadar akan potensi perubahan diri, seperti yang diajarkan dalam kisah A Christmas Carol.

Kisah A Christmas Carol semakin tenar sejak tahun 1843, ketika Charles Dickens menulis karya klasik ini. 

Dickens, yang saat itu sudah menjadi penulis terkenal di Inggris, terinspirasi untuk menulis A Christmas Carol setelah mengalami kesulitan keuangan dan melihat ketimpangan sosial yang semakin parah di London. 

Ia merasa semangat Natal perlu diperkenalkan kembali di tengah-tengah masyarakat yang semakin materialistik dan terpecah. 

Dickens menginginkan agar orang-orang yang lebih kaya memperhatikan nasib mereka yang kurang beruntung. 

Melalui cerita ini, ia ingin menyampaikan pesan moral tentang pentingnya kepedulian sosial, kebaikan hati, dan perubahan diri.

Cerita ini berkisah tentang Ebenezer Scrooge, pria tua dan kaya yang sangat pelit, egois, dan tidak peduli terhadap orang lain, terutama orang miskin. 

Pada malam Natal, Scrooge dikunjungi oleh tiga roh yang mewakili masa lalu, masa kini, dan masa depan. Melalui perjalanan ini, Scrooge menyadari kesalahannya dan akhirnya berubah menjadi seseorang yang murah hati dan peduli terhadap orang lain. 

A Christmas Carol  cepat menjadi salah satu karya paling populer dan banyak dibaca, tidak hanya karena ceritanya yang menyentuh, tetapi juga karena pesan moral yang relevan dengan masyarakat hingga kini.

Pakar Pedagogi

Ada beberapa pakar pedagogi dan pendidikan yang mempelajari A Christmas Carol sebagai bahan ajar untuk menggali nilai-nilai moral, etika, dan perkembangan karakter, serta bagaimana karya tersebut dapat digunakan untuk mengajarkan keterampilan sosial, empati, dan refleksi diri
serta correptio fraternal (pendekatan penuh kasih persaudaraan) dalam konteks pendidikan.

Beberapa pakar pedagogi, seperti Thomas Lickona, yang dikenal dengan pendekatannya terhadap pendidikan karakter, mungkin akan melihat karya ini sebagai alat untuk mengajarkan nilai-nilai seperti kebaikan hati, kepedulian sosial, dan kemampuan untuk berubah. 

Karakter Ebenezer Scrooge yang awalnya egois dan pelit, kemudian berubah menjadi dermawan dan peduli, menjadi contoh yang jelas dalam mengajarkan kepada siswa tentang potensi perubahan diri melalui refleksi dan pembelajaran moral. 

Melalui perjalanan Scrooge yang didampingi tiga roh, siswa bisa belajar melihat tindakan mereka dari sudut pandang yang berbeda (masa lalu, masa kini, dan masa depan), dan memahami dampaknya terhadap orang lain.

A Christmas Carol juga dipakai untuk mengajarkan konsep empati dan kepedulian sosial dalam pendidikan. 

Jerome Bruner, ahli teori pendidikan yang menekankan pentingnya pembelajaran berbasis narasi, mungkin melihat kisah Dickens sebagai cara yang efektif untuk merangsang diskusi tentang ketimpangan sosial, ketidakadilan, dan peran individu dalam menciptakan perubahan sosial. 

Melalui diskusi tentang karakter-karakter dalam cerita seperti Bob Cratchit, keluarga Cratchit, dan tentunya Scrooge, siswa dapat memeriksa isu-isu terkait kesejahteraan sosial dan bagaimana tindakan kecil seseorang dapat berdampak besar pada orang lain.

Di dunia pendidikan modern, banyak pendidik  menggunakan A Christmas Carol dalam pendekatan pedagogi berbasis literasi kritis dan kreatif. 

Louise Rosenblatt, ahli teori literasi, mengemukakan bahwa literatur dapat menjadi alat untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dan refleksi diri melalui pengalaman imajinatif. 

Karya Dickens, yang kaya simbolisme dan tema-tema universal, memungkinkan siswa menganalisis karakter, motif, dan perkembangan cerita dalam konteks sosial dan pribadi mereka. 

Pembelajaran melalui narasi ini memberi kesempatan siswa untuk merenung tentang moralitas, perubahan diri, dan pengaruh tindakan mereka terhadap orang lain.

A Christmas Carol bukan hanya dipelajari sebagai karya sastra, tetapi digunakan sebagai alat dalam pendidikan untuk membantu siswa mengembangkan pemahaman moral, empati, dan kesadaran sosial. 

Para pakar pedagogi melihatnya sebagai sumber yang kaya untuk memfasilitasi diskusi dan refleksi soal perubahan pribadi dan dampaknya terhadap masyarakat.

Para Guru Umat Manusia

Kisah A Christmas Carol sangat relevan bagi guru umat manusia yang mengajar dengan prinsip all means all karena cerita ini menekankan pentingnya perubahan diri dan kepedulian terhadap semua orang, tanpa memandang latar belakang atau status sosial. 

Seperti halnya Ebenezer Scrooge yang menemukan makna hidupnya melalui perhatian terhadap orang lain, guru dapat menginspirasi siswa untuk saling mendukung dan menghargai, menciptakan ruang di mana setiap individu, tanpa kecuali, merasa berarti. 

Dengan mengajarkan nilai-nilai empati, keadilan sosial, dan perubahan positif, para guru membentuk generasi yang memahami bahwa setiap orang, tanpa terkecuali, memiliki potensi untuk berkontribusi dalam kebaikan bersama.

Pesan dari A Christmas Carol bagi para guru di sekolah-sekolah Indonesia sangat relevan, terutama dalam konteks pengembangan karakter siswa dan pembentukan kesadaran sosial yang lebih baik. 

Berikut beberapa pesan yang bisa diambil dari karya ini: Salah satu pesan utama  adalah pentingnya empati dan kepedulian terhadap sesama, terutama mereka yang kurang beruntung. 

Guru di Indonesia dapat mengajarkan kepada siswa bahwa setiap orang memiliki cerita dan perjuangannya sendiri, sebagaimana yang terlihat dalam karakter Bob Cratchit dan keluarganya. 

Melalui cerita ini, guru dapat mengajak siswa untuk lebih peduli terhadap teman-teman mereka yang mungkin berasal dari latar belakang yang berbeda atau yang menghadapi kesulitan dalam hidupnya. 

Ini dapat diterapkan di sekolah dengan mendorong budaya saling membantu, misalnya melalui program amal, penggalangan dana untuk anak-anak yang membutuhkan, atau hanya dengan menciptakan suasana yang penuh perhatian di kelas.

Salah satu tema sentral dalam A Christmas Carol adalah kemampuan untuk berubah, tercermin dalam transformasi karakter Ebenezer Scrooge dari yang egois menjadi orang yang penuh kasih. 

Pesan ini dapat diambil  para guru sebagai inspirasi untuk menanamkan kepada siswa bahwa perubahan positif adalah hal yang selalu mungkin, tidak peduli seberapa besar kesalahan yang telah dibuat di masa lalu. 

Dalam konteks pendidikan, ini bisa diterjemahkan sebagai dorongan kepada siswa untuk tidak takut gagal dan terus berusaha untuk memperbaiki diri, baik dalam aspek akademik maupun sosial. 

Guru dapat mengajak siswa untuk melihat setiap kegagalan sebagai peluang untuk belajar dan berkembang.

A Christmas Carol juga mengajarkan  pendidikan tidak hanya tentang transfer ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang pembentukan karakter. 

Guru di Indonesia dapat memanfaatkan cerita ini untuk mengajarkan nilai-nilai moral yang sangat penting untuk kehidupan sehari-hari.

Guru bisa mengajak siswa  berdiskusi tentang nilai-nilai seperti kejujuran, tanggung jawab, kedermawanan, dan keadilan sosial. 

Dalam konteks ini, pendidikan menjadi lebih dari sekadar pembelajaran mata pelajaran, tetapi upaya membentuk manusia yang memiliki rasa tanggung jawab sosial dan kesadaran terhadap masalah-masalah yang ada di masyarakat, baik itu dalam skala lokal maupun global.

Salah satu hal yang sangat jelas dalam perubahan karakter Scrooge adalah bagaimana ia belajar bersyukur dan menghargai hal-hal kecil dalam hidup. 

Pesan ini relevan bagi siswa, terutama dalam masyarakat yang sering kali terfokus pada materi dan pencapaian pribadi. 

Guru dapat mengajarkan siswa untuk lebih menghargai apa yang mereka miliki, baik itu keluarga, teman, atau kesempatan belajar di sekolah. 

Dengan menumbuhkan rasa syukur dan melihat sisi positif dalam kehidupan sehari-hari, siswa akan belajar untuk lebih bahagia dan  terbuka terhadap orang lain.

Dalam A Christmas Carol, kita melihat bagaimana pengaruh sosial, baik itu keluarga, teman, atau masyarakat, memainkan peran besar dalam perubahan karakter seseorang. 

Guru di Indonesia bisa menggunakan hal ini untuk mengajarkan bahwa setiap siswa memengaruhi satu sama lain. 

Sebagai pendidik, guru dapat menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan positif dengan menunjukkan contoh teladan yang baik, menginspirasi siswa untuk saling mendukung, dan menciptakan atmosfer kelas yang saling menghargai dan mendorong.

A Christmas Carol mengajarkan kepada para guru bahwa pendidikan bukan hanya soal mengajarkan pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk karakter yang penuh empati, tanggung jawab sosial, dan kemampuan untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik.

Di sekolah-sekolah Indonesia, pesan ini sangat relevan dalam upaya menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki rasa kepedulian terhadap masyarakat dan lingkungan sekitarnya. 

Mari kita ke Betlehem dengan memaknai panggilan kita sebagai guru umat manusia, yang tidak hanya terbatas pada ruang kelas, tetapi juga di rumah, ruang publik, dan kampus kehidupan. 

Seperti Natal yang mengajarkan tentang kasih tanpa syarat dan pengorbanan, kita dipanggil untuk mendidik dengan hati, membimbing setiap individu untuk menemukan makna hidup yang lebih dalam melalui empati, keadilan, dan kasih sayang. 

Di setiap langkah kita, baik sebagai pendidik di sekolah, sebagai teladan di rumah, maupun sebagai anggota masyarakat, kita diundang menghidupi nilai-nilai kebaikan yang merangkul semua orang. (*)

Sumber: Pos Belitung
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved