Opini
Opini: Dilema Sanctissima Trinitas Hokeng
Di daerah sekitar Hokeng di tahun 80-an, identitas siswi hanyalah untuk SMP Sanctissima Trinitas sementara siswa untuk Seminari Hokeng.
Dengan ‘memuntahkan lahar’ yang mengganjal, maka tida saatnya ia pun lebih tenang dan kembali memulihkan situasi.
Berpikir Ulang?
Pemikiran ini tidak mesti menjadi bahan pertimbangan untuk membatalkan apa yang sudah diputuskan tentang penutupan permanen STH. Meski demikian ia bisa menjadi alternatif pemikiran.
Pertama, kesiapan dan kematangan kita melewati pandemi covid-19 mestinya menjadi bekal yang cukup agar STH bisa diberlakukan pembelajaran online hingga akhir tahun ajaran 2024/2025.
Pandemi telah menghadirkan ide kreatif untuk melakukan pembelajaran jarak jauh. Buku Pembelajaran Kreatif, Pembelajaran Jarak Jauh yang penulis terbitkan di Grasindo misalnya merupakan buah pemikiran dari upaya mengoptimalkan pembelajaran online secara kreatif.
Pada sisi lain, kondisi keparahan gedung dan dampak yang diperoleh tentu saja menjadi pertimbangan pemerintah sehingga tidak akan memperlakukan STH, Sesado, SD Klatanlo, SD Inpres Wolorona untuk harus melakukan pembelajaran dan ujian seperti sekolah yang lain.
Setelah periode ini, bisa diharapkan terdapat alternatif yang jauh lebih baik ketimbang mempercepatnya di bulan Desember 2024.
Kedua, keputusan meninjau ulang dan memberi waktu yang lebih lama merupakan bentuk solidaritas dari Kongregasi SSpS terhadap warga dan sekolah sekitar yang tidak akan secepat para suster memutuskan sesuatu.
Mereka tidak memiliki banyak alternatif selain meratapi nasibnya. Tidak saja itu. Seminari Hokeng misalnya sebagai Lembaga persemaian tidak akan mengambil keputusan seperti diambil oleh STH.
Karena itu keputusan di tengah bencana bisa saja melegahkan orang tua / murid atau Kongregasi SSpS tetapi bersifat kontrapduktif dalam solidaritas yang jauh lebih luas.
Orang Klatanlo-Wolorona-Padang Pasir ketika mendengar penutupan STH tentu hanya bisa menepuk dada: “Suster, korang bae, bisa tuto begitu saja. Tapi torang ni mau tuto di sini tero ma ke mana legi”.
Pemikiran seperti ini mestinya menjadi pertimbangan untuk bisa meninjau keputusan atau minimal menundanya untuk mencapai situasi yang jauh lebih tenang lagi.
Mengakhiri tulisan ini saya hanya mengutip sebuah ungkapan psikologi tentang dilema.
Dalam ungkapan asli: go with the choice that scares you the most because that’s the one that’s going to help you grow (pilihlah hal yang paling menakutkanmu karena hal itulah yang akan membantu engkau berkembang).
Hal ini hanya mengingatkan, apakah yang paling menakutkan selama ini adalah Gunung Lewotobi yang harus kita hindari (tutup) atau hadapi?
Jawaban akan pertanyaan ini bisa memberi ruang untuk kita bisa berkembang. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.