Opini
Opini: Dilema Sanctissima Trinitas Hokeng
Di daerah sekitar Hokeng di tahun 80-an, identitas siswi hanyalah untuk SMP Sanctissima Trinitas sementara siswa untuk Seminari Hokeng.
Oleh: Robert Bala
Penulis buku Cara Mengajar Kreatif Pembelajaran Jarak Jauh, Penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo), 2021
POS-KUPANG.COM - Berita angin tentang SMP Sanctissima Trinitias Hokeng (STH) di Kabupaten Flores Timur, NTT, sudah terdengar sejak letusan maha dasyat itu menimpa Hokeng dan sekitarnya.
Tetapi banyak orang yang yakin kalau hal itu hanya berita angin. Namun ketika hal itu sudah pasti dalam bentuk surat pemberitahuan, banyak orang yang merasa tersentuh mengedarkannya. Bisa dipahami.
Sejak pendiriannya tahun 1958 (66 tahun lalu), maka bisa dipahami kegelisahan itu melanda. Para siswa adalah anak dari anak bahkan cucu, cicit yang terus merekomendasikannya.
Penulis saat masih menjadi siswa Seminari Hokeng sangat akrab mendengar istilah ‘siswa dan siswi’.
Di daerah sekitar Hokeng di tahun 80-an, identitas siswi hanyalah untuk SMP Sanctissima Trinitas sementara siswa untuk Seminari Hokeng.
Karena itu informasi penutupan itu mendorong penulis untuk bersuara. Sudah pasti pendapat ini tidak bisa akan mengubah hasil keputusan pimpinan SSpS di Roma: Roma locuta, causa finita es (Roma bicara, semuanya selesai).

Tetapi mengingat jangka waktu kepengurusan surat-surat pindah diperkirakan baru pada pertengahan Desember, maka pemikiran berikut, kalau pun tidak didengarkan, minimal pernah disampaikan.
Dilema
Sebagaimana diungkapkan pada surat, keputusan permanen penutupan STH kerusakan bangunan hingga kematian seorang suster menjadi pertimbangannya.
Prediksi kekuatan rehabilitasi fisik dan psikologis merupakan beban yang tentu tidak ringan.
Karena itu penutupan permanen dianggap sebagai jalan keluar yang memiliki keburukan terkecil dari alternatif lainnya. Sampai di sini semua pertimbangan dipahami.
Yang jadi pertanyaan, apakah keputusan permanen di tengah kondisi bencana yang masih ‘naik–turun’ merupakan solusi yang tepat?
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini tetapi ada beberapa pemikiran yang bisa dipertimbangkan.
Pertama, Indonesia berada dalam jaringan cincin api (ring of fire) yang melingkar mengelilingi Pasifik. Bentuknya seperti tapal kuda.
Ada yang melihatnya seperti kepala harimau yang mulai dari Selandia Baru dan membentang ke utara melewati Indonesia di sepanjang tepi timur Asia.
Cincin Api juga melintasi Aleutian Alaska, pesisir barat Amerika Utara dan Selatan, dan berakhir di ujung selatan Amerika Selatan.
Posisi Indonesia berada seperti moncong harimau yang bisa ditafsir (secara bebas) sebagai daerah yang paling berdambak.
Dengan demikian seluruh kawasan (terutama Flores) merupakan sasaran bencana alam. Tsunami tahun 1992 merupakan contoh bahwa pusat gempa itu sangat dangkal dan meluluhlantahkan Flores (Maumere).
Kedua, apakah dengan tsunami di Maumere (dan kini Lewotobi) maka solusinya adalah menutup sebuah kota secara keseluruhan atau sebuah sekolah hanya karena bencana alam?
Solusi dengan relokasi sementara merupakan hal yang wajar.
Letusan Gunung Lewotobi masih memiliki rangkaian letusan yang harus diwaspadai.
Karena itu untuk sementara semua harus menjauh sambil menunggu waktu terbaik untuk dapat menentukan jalan keluar yang lebih tenang.
Asumsi seperti ini logis karena dari bidang geologi, jarak leutusan dasyat gunung api ke letusan berikut itu memiliki ritme puluhan malah kebanyakan di atas seratus tahun.
Letusan gunung terdahsyat yakni Tambora tahun 1815 yang menewaskan 11 ribu orang hingga kini (moga-moga saja) tidak terulang.
Gunung Krakatau tahun 1883 dengan tsunami 36 menter dan menewaskan 38 ribu jiwa, hingga kini masih cukup adem-ayem.
Semuanya ini bisa kita tambah dengan letusan gunung Kelud 1919 atau Toba yang sudah meletus dahsyat 74 ribu tahun yang lalu.
Bercermin pada contoh ini maka Lewotobi mestinya tidak akan begitu kejam selama-lamanya.
Lebih lagi dalam kepercayaan Lamaholot tentang gunung sebagai 'orang tua' yang melahirkan ata ile jadi (leluhur pertama) dalam suatu komunitas Lewo menandakan bahwa emosi letusan itu tidak selamanya.
Inilah kearifan lokal yang tidak berbeda dengan penjelasan ilmiah bahwa letusan itu merupakan reaksi alam yang menuntut harmonisasi.
Dengan ‘memuntahkan lahar’ yang mengganjal, maka tida saatnya ia pun lebih tenang dan kembali memulihkan situasi.
Berpikir Ulang?
Pemikiran ini tidak mesti menjadi bahan pertimbangan untuk membatalkan apa yang sudah diputuskan tentang penutupan permanen STH. Meski demikian ia bisa menjadi alternatif pemikiran.
Pertama, kesiapan dan kematangan kita melewati pandemi covid-19 mestinya menjadi bekal yang cukup agar STH bisa diberlakukan pembelajaran online hingga akhir tahun ajaran 2024/2025.
Pandemi telah menghadirkan ide kreatif untuk melakukan pembelajaran jarak jauh. Buku Pembelajaran Kreatif, Pembelajaran Jarak Jauh yang penulis terbitkan di Grasindo misalnya merupakan buah pemikiran dari upaya mengoptimalkan pembelajaran online secara kreatif.
Pada sisi lain, kondisi keparahan gedung dan dampak yang diperoleh tentu saja menjadi pertimbangan pemerintah sehingga tidak akan memperlakukan STH, Sesado, SD Klatanlo, SD Inpres Wolorona untuk harus melakukan pembelajaran dan ujian seperti sekolah yang lain.
Setelah periode ini, bisa diharapkan terdapat alternatif yang jauh lebih baik ketimbang mempercepatnya di bulan Desember 2024.
Kedua, keputusan meninjau ulang dan memberi waktu yang lebih lama merupakan bentuk solidaritas dari Kongregasi SSpS terhadap warga dan sekolah sekitar yang tidak akan secepat para suster memutuskan sesuatu.
Mereka tidak memiliki banyak alternatif selain meratapi nasibnya. Tidak saja itu. Seminari Hokeng misalnya sebagai Lembaga persemaian tidak akan mengambil keputusan seperti diambil oleh STH.
Karena itu keputusan di tengah bencana bisa saja melegahkan orang tua / murid atau Kongregasi SSpS tetapi bersifat kontrapduktif dalam solidaritas yang jauh lebih luas.
Orang Klatanlo-Wolorona-Padang Pasir ketika mendengar penutupan STH tentu hanya bisa menepuk dada: “Suster, korang bae, bisa tuto begitu saja. Tapi torang ni mau tuto di sini tero ma ke mana legi”.
Pemikiran seperti ini mestinya menjadi pertimbangan untuk bisa meninjau keputusan atau minimal menundanya untuk mencapai situasi yang jauh lebih tenang lagi.
Mengakhiri tulisan ini saya hanya mengutip sebuah ungkapan psikologi tentang dilema.
Dalam ungkapan asli: go with the choice that scares you the most because that’s the one that’s going to help you grow (pilihlah hal yang paling menakutkanmu karena hal itulah yang akan membantu engkau berkembang).
Hal ini hanya mengingatkan, apakah yang paling menakutkan selama ini adalah Gunung Lewotobi yang harus kita hindari (tutup) atau hadapi?
Jawaban akan pertanyaan ini bisa memberi ruang untuk kita bisa berkembang. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.