Breaking News

Opini

Opini: Dilema Sanctissima Trinitas Hokeng

Di daerah sekitar Hokeng di tahun 80-an, identitas siswi hanyalah untuk SMP Sanctissima Trinitas sementara siswa untuk Seminari Hokeng. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
Ilustrasi. Para alumni SMP Sanctissima Trinitas Hokeng ketika bersama para pengungsi erupsi Ile Lewotobi Laki-laki di Kabupaten Flores Timur belum lama ini. 

Ada yang melihatnya seperti kepala harimau yang mulai dari Selandia Baru dan membentang ke utara melewati Indonesia di sepanjang tepi timur Asia. 

Cincin Api juga melintasi Aleutian Alaska, pesisir barat Amerika Utara dan Selatan, dan berakhir di ujung selatan Amerika Selatan. 

Posisi Indonesia berada seperti moncong harimau yang bisa ditafsir (secara bebas) sebagai daerah yang paling berdambak. 

Dengan demikian seluruh kawasan (terutama Flores) merupakan sasaran bencana alam. Tsunami tahun 1992 merupakan contoh bahwa pusat gempa itu sangat dangkal dan meluluhlantahkan Flores (Maumere). 

Kedua, apakah dengan tsunami di Maumere (dan kini Lewotobi) maka solusinya adalah menutup sebuah kota secara keseluruhan atau sebuah sekolah hanya karena bencana alam? 

Solusi dengan relokasi sementara merupakan hal yang wajar. 

Letusan Gunung Lewotobi masih memiliki rangkaian letusan yang harus diwaspadai. 

Karena itu untuk sementara semua harus menjauh sambil menunggu waktu terbaik untuk dapat menentukan jalan keluar yang lebih tenang. 

Asumsi seperti ini logis karena dari bidang geologi, jarak leutusan dasyat gunung api ke letusan berikut itu memiliki ritme puluhan malah kebanyakan di atas seratus tahun. 

Letusan gunung terdahsyat yakni Tambora tahun 1815 yang menewaskan 11 ribu orang hingga kini (moga-moga saja) tidak terulang. 

Gunung Krakatau tahun 1883 dengan tsunami 36 menter dan menewaskan 38 ribu jiwa, hingga kini masih cukup adem-ayem. 

Semuanya ini bisa kita tambah dengan letusan gunung Kelud 1919 atau Toba yang sudah meletus dahsyat 74 ribu tahun yang lalu. 

Bercermin pada contoh ini maka Lewotobi mestinya tidak akan begitu kejam selama-lamanya. 

Lebih lagi dalam kepercayaan Lamaholot tentang gunung sebagai 'orang tua' yang melahirkan ata ile jadi (leluhur pertama) dalam suatu komunitas Lewo menandakan bahwa emosi letusan itu tidak selamanya. 

Inilah kearifan lokal yang tidak berbeda dengan penjelasan ilmiah bahwa letusan itu merupakan reaksi alam yang menuntut harmonisasi. 

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved