Opini

Opini: Hegemoni Kekuasaan dalam Proyek Geothermal

Resistensi yang muncul ini bukan sekadar reaksi spontan, melainkan cerminan dari ketidakadilan yang dirasakan masyarakat lokal. 

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
Aksi unjuk rasa warga Poco Leok Manggarai belum lama ini. 

Hak atas tanah ulayat, yang memiliki makna sosial, budaya, dan spiritual, direduksi menjadi sekadar aset ekonomi untuk mendukung agenda pembangunan.

Penangkapan wartawan dan tindakan represif terhadap warga menunjukkan bahwa ada elemen kepentingan privat yang kuat di balik proyek ini. 

Pemerintah, alih-alih menjadi pelindung rakyat, justru bertindak sebagai pelindung modal. 

Inilah yang disebut sebagai “state-corporate nexus” — sebuah hubungan yang erat antara pemerintah dan perusahaan untuk mengejar keuntungan, tetapi pada saat yang sama mengabaikan hak-hak masyarakat sipil.

Pemerintah, yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat, justru bertindak sebagai agen kekuatan kapitalis yang memaksakan agenda pembangunan dengan menggunakan kekuatan represif. 

Inilah yang oleh Antonia Gramsci sebut sebagai hegemoni kekuasaan –pemerintah memanfaatkan narasi transisi energi bersih untuk melegitimasi proyek-proyek yang menguntungkan segelintir pihak. 

Pemerintah beroperasi dalam kerangka kapitalisme hijau (green capitalism), di mana alam dan manusia dieksploitasi demi kepentingan ekonomi.

Dalam kerangka kekuasaan yang hegemonik itu, narasi energi bersih proyek Geothermal tampaknya menjadi alat legitimasi kekuasaan pemerintah. 

Kepentingan masyarakat diabaikan demi mencapai target ambisius untuk net zero emissions pada 2060, yang pada kenyataannya lebih menguntungkan para investor dan perusahaan energi. 

Sementara dampak sosial dan ekologis dari proyek ini diabaikan, termasuk hilangnya hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya alam.

Dalam konteks ini, pemerintah tidak hanya gagal melindungi masyarakat, tetapi juga secara aktif berkontribusi pada pengabaian hak-hak mereka. 

Proyek ini mengakibatkan hilangnya kedaulatan masyarakat atas tanah ulayat dan sumber daya alam mereka, serta merusak ekosistem yang selama ini menjadi tumpuan hidup mereka. 

Padahal, tanah ulayat bagi masyarakat adat tidak sekadar aset ekonomi, melainkan merupakan simbol identitas dan kehidupan spiritual yang sangat penting.

Tanah ini menjadi tempat masyarakat menjalani kehidupan sehari-hari, melakukan praktik budaya, dan berinteraksi dengan alam. 

Dengan proyek yang merampas akses masyarakat terhadap tanah ini, pemerintah tidak hanya mengabaikan hak-hak mereka tetapi juga merusak ikatan sosial yang telah terjalin selama bertahun-tahun.

Halaman
123
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved