Opini
Opini: Posisi Agama dalam Ruang Publik
Agama tidak lagi sibuk konflik doktrin teologis, sesat dan benar, surga dan neraka, tetapi saling merangkul menjalankan misi kemanusiaan.
Bahwa setiap agama dipanggil untuk membela martabat manusia yang dilecehkan oleh penganut agama itu sendiri, seperti kaum fundamentalisme, intoleran maupun struktur ekonomi, politik, sosial dan kulutral yang tidak adil serta pembangunan main stream.
Agama sebagai bagian dari entitas bangsa dituntut tidak sekadar mempertajamkan kesalehan ritualistik, tetapi lebih dari itu kesalehan sosial yakni nilai moral diungkapkan dalam tindakan praksis.
Namun dalam menerjemahkan nilai moral setiap agama dan diterima oleh semua warga
negara instrumen yang digunakan ialah bahasa dan konsep yang bersifat publik.
Bahasa dan konsep publik ini untuk mencegah setiap agama berkonflik, masing-masing mengklaim ajaran agamanya paling baik untuk disumbangkan dalam menata hidup bersama yang lebih baik.
Oleh karena itu mesti ada jembatan untuk menemukan suatu orientasi tunggal dalam mencapai konsensus etis bersama.
Berhadapan dengan persoalaan ini, saya sepakat dengan gagasan Jhon Rawls dan Abdullahi A.an’Naim, pemikir Islam liberal. Jhon Rawls memproposalkan gagasan tentang nalar publik (public reason).
Publik reason berkenaan dengan konsepsi politik yang hanya berlaku di forum publik atau negara.
Meskipun doktrin teologis setiap agama secara substabsial tidak diterima di ruang publik, tetapi bisa diterima jika melalui argumen politik dalam bentuk nalar publik.
Sebab subjek utama dari nalar publik adalah kebaikan publik, dan isi dari nalar publik adalah keadilan (justice).
Jadi, dalam kerangkan pemikiran Jhon Rawls untuk menerjemahkan ajaran moral di ruang publik setiap agama menggunakan bahasa dan konsep publik, seperti keadilan, solidaritas, subsidaritas, kesetaraan dan bonnum commune.
Ini adalah konsep nalar publik yang berisi konsepsi politik yang berlaku umum di negara.
Rawls di sini mau mengatakan, semua agama terlibat dalam diskursus persoalaan publik, khususnya menjaga martabat manusia agar tidak diabaikan apalagi oleh keangkuhan iman yang dangkal.
Demikian halnya Abdullahi A.an’Naim menganjurkan civic reason-nalar sivik. Civic reason adalah bahasa bersama dalam dialog setiap agama untuk mencapai konsensus. Konsensus itu berkaitan dengan kebijakan publik.
Menurut Abdullahi, agama bisa terlibat dalam ruang publik asalkan dalam terang kewarganegaraan yang beragam bukan pemaksaan atas doktrin-doktrin setiap agama.
Terkait civic reason, ia batasi dalam tiga aspek, pertama nalar sivik berkaitan dengan konstitusional, kedua, nalar sivik berkaitan dengan HAM, ketiga, nalar sivik berkaitan dengan kewarganegaraan setara. (Feliks Baghi, editor, Pluralisme, Demokrasi dan Toleransi).
Jadi, public reason dan civic reason adalah jembatan yang memungkinkan agama bisa terlibat dalam diskurus persoalan publik. Apalagi sekarang ini Indonesia dalam masa darurat.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.