Cerpen

Cerpen: Jejak Langkah Sang Reformis

Kota ini telah menjadi saksi bisu perjalanannya, dari seorang pemuda biasa hingga menjadi figur politik yang diperhitungkan. 

Editor: Dion DB Putra
DOK
ilustrasi 

Oleh: Tian Rahmat,S.Fil
Alumnus IFTK Ledalero, Seminari Tinggi Ritapiret,Flores

POS-KUPANG.COM - Lexi berdiri di balkon kecil kantor partainya, menatap ke hamparan kota Ruteng yang hiruk-pikuk. 

Kota ini telah menjadi saksi bisu perjalanannya, dari seorang pemuda biasa hingga menjadi figur politik yang diperhitungkan. 

Usianya baru tiga puluh lima, namun perjalanan hidupnya telah membuat pundaknya memikul beban yang seolah lebih berat dari yang bisa ditanggung oleh seorang politikus muda sepertinya. 

Lima tahun terakhir, Lexi berhasil meraih popularitas sebagai reformis yang mengumandangkan harapan di tengah politik yang penuh intrik. 

Namun, Lexi paham betul bahwa janji perubahan tidak akan mudah terwujud. Di setiap langkah, kepentingan-kepentingan tersembunyi menantinya, siap menjerat kapan saja.

“Kita harus tegas, Lexi,” suara Melin, ketua partainya, memecah keheningan malam. 

“Jika kita terus bermain dengan cara yang aman, mereka tidak akan pernah memberi kita kesempatan untuk maju.”Lobi-lobi ini penting untuk mempertahankan pengaruh kita.”

Lexi menoleh, menatap Ursula dengan mata penuh pertanyaan. Lobi-lobi. Kata itu selalu menghantui setiap pemikiran Lexi, seolah menjadi jurang yang memisahkan idealisme dan realitas politik. 

Di satu sisi, ia ingin merombak sistem, menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan berpihak kepada rakyat Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Namun, di sisi lain, ia tahu bahwa pengaruh para pemegang kekuasaan yang sudah lama bercokol di politik lokal dan nasional sangatlah kuat.

“Kita tidak bisa mengkhianati rakyat, Melin. Mereka memilih kita karena janji perubahan. Kalau kita terjebak dalam permainan kotor ini, apa bedanya kita dengan mereka yang sudah lama mempermainkan nasib rakyat?” Lexi mencoba untuk tetap teguh pada prinsipnya.

Melin hanya bisa menghela napas panjang. “Lexi, kau terlalu idealis. Sistem ini tidak akan berubah dalam semalam. Perubahan butuh strategi, kompromi, dan waktu.”

Kompromi. Kata yang paling dibenci oleh Lexi. Dalam politik, kompromi sering kali berarti mengorbankan sebagian prinsip demi kemenangan sementara. 

Namun, rakyat NTT, terutama yang berada di pelosok-pelosok terpencil, tidak peduli dengan kemenangan politik. Yang mereka butuhkan adalah akses air bersih, jalan yang layak, dan listrik yang stabil. 

Hal-hal sederhana yang selama bertahun-tahun menjadi janji manis politisi.

***

Dua tahun yang lalu, Lexi hanyalah salah satu dari banyak anggota muda di partainya. Ia sering merasa diabaikan dalam diskusi-diskusi besar. 

Namun, semuanya berubah ketika kasus korupsi besar yang melibatkan proyek pembangunan Bendungan Wae belang mencuat.

Proyek yang seharusnya menjadi solusi bagi persoalan air di NTT justru menjadi lahan subur bagi para koruptor untuk mengeruk keuntungan. 

Ketika sebagian besar politisi lokal memilih diam atau justru terlibat dalam pusaran korupsi, Lexi dengan lantang bersuara, menuntut investigasi mendalam dan reformasi besar-besaran.

Wajah Lexi pun menjadi langganan di televisi lokal, mengisi kolom-kolom berita di Pos Kupang. Dia berbicara tentang transparansi, akuntabilitas, dan pentingnya memerangi korupsi demi masa depan NTT yang lebih baik. 

Rakyat pun mulai percaya bahwa Lexi adalah harapan baru, sosok yang akan mengangkat mereka dari keterpurukan.

Partainya, yang semula tak begitu diperhitungkan di tingkat nasional, mulai mendapatkan dukungan luas berkat keberanian Lexi. 

Pada pemilu berikutnya, partai mereka meraih kemenangan besar di NTT, membuat Lexi diangkat menjadi wakil ketua partai. 

Namun, kemenangan ini juga menjadi awal dari ujian besar bagi prinsip-prinsipnya.

Tekanan dari berbagai pihak mulai datang. Para pengusaha besar yang mendanai kampanye partainya kini menuntut imbalan. 

Lexi merasakan tarikan kuat dari lingkaran kekuasaan untuk mengikuti arus korupsi yang sama. 

Setiap kebijakan yang hendak ia dorong, seperti pengelolaan anggaran daerah yang lebih transparan atau upaya menghentikan pembalakan
liar di hutan-hutan Pulau Timor, selalu menghadapi perlawanan sengit.

Suatu malam, ketika Lexi pulang ke rumahnya di pinggiran Ruteng, Merry, istrinya, menyambutnya dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Kau baik-baik saja?” Merry bertanya lembut.

Lexi tersenyum lelah. “Ya, hanya banyak yang harus dipikirkan. Tekanan datang dari berbagai arah.”

Merry duduk di sampingnya, menggenggam tangannya erat. 

“Aku tahu kau ingin membawa perubahan besar, tapi ingatlah, kau tidak bisa melakukan ini sendirian. Banyak orang di luar sana yang tidak ingin perubahan itu terjadi. Mereka akan mencoba menjatuhkanmu.”

Lexi terdiam, lalu berkata, “Aku tahu, Merry. Tapi jika aku menyerah, lalu siapa yang akan memperjuangkan mereka? Siapa yang akan memastikan pembangunan bendungan yang bersih? Siapa yang akan menegakkan keadilan bagi rakyat kecil?”

Merry memandangnya dengan mata penuh pengertian. “Hanya saja, jangan sampai kau kehilangan dirimu sendiri dalam proses ini. Kau bisa berubah menjadi seperti mereka jika kau tak berhati-hati.”

***

Keesokan harinya, Lexi duduk di ruang rapat partai, berdiskusi tentang sebuah Rancangan Undang-Undang baru yang kontroversial. 

RUU ini, jika disahkan, akan memberi akses lebih besar kepada perusahaan-perusahaan tambang asing untuk mengeksploitasi wilayah-wilayah kaya mineral di Timor dan Sumba. 

Dalam proposal itu, iming-iming investasi besar untuk membangun infrastruktur di NTT tampak begitu menggiurkan. 

Namun, Lexi tahu bahwa ada harga yang harus dibayar harga yang terlalu mahal bagi lingkungan dan masyarakat lokal.

“Kita harus mendukung RUU ini, Lexi,” Melin menegaskan. “Investasi ini akan menciptakan ribuan lapangan kerja, dan kita bisa membangun jalan-jalan baru, pelabuhan, serta sekolah- sekolah di daerah terpencil. Ini adalah kesempatan emas untuk pembangunan NTT.”

“Tapi dengan harga apa?” Lexi membalas dengan nada tajam. “Eksploitasi besar-besaran tanpa memperhatikan lingkungan hanya akan meninggalkan kerusakan permanen. Rakyat kita hanya akan mendapat remah-remah, sementara keuntungan besar jatuh ke tangan perusahaan-perusahaan asing.”

Melin menggelengkan kepala. “Ini politik, Lexi. Kita harus realistis. Kadang kita harus memilih antara yang ideal dan yang memungkinkan.”

Lexi tahu, ini adalah momen penting dalam karier politiknya. Menolak RUU ini berarti melawan arus kuat dari para pemodal besar yang sudah mengakar di politik daerah. Namun, mendukungnya berarti mengkhianati prinsip yang selama ini ia pegang teguh.

***

Hari pemungutan suara tiba. Lexi berdiri di depan podium parlemen daerah. Wajah-wajah anggota dewan lainnya menatap penuh harap dan skeptis. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara.

“Aku di sini bukan untuk melayani kepentingan pemodal besar. Aku di sini untuk rakyat Nusa Tenggara Timur. Aku di sini untuk memastikan bahwa anak-anak di Pulau Timor bisa minum air bersih, bahwa masyarakat di Sumba tidak kehilangan tanah mereka karena eksploitasi tambang. Jika menolak RUU ini berarti aku harus kehilangan dukungan politik,
maka biarlah. Namun, aku tidak akan berdiri diam sementara hak-hak rakyat dijual demi keuntungan segelintir orang.”

Setelah pidato itu, suasana sidang berubah hening. Akhirnya, RUU tersebut gagal disahkan.

Itu adalah kemenangan besar bagi lingkungan dan rakyat, tetapi juga ancaman bagi karier politik Lexi.

Beberapa hari kemudian, Melin mendatangi ruang kerja Lexi. “Kau tahu ini akhir dari perjalananmu, bukan?”

Lexi tersenyum tipis. “Jika ini adalah harga yang harus kubayar untuk menjaga integritas, maka aku menerimanya.”

***

Lexi mungkin telah kehilangan posisinya di partai, tetapi ia tetap mendapat dukungan kuat dari rakyat NTT. Di tengah ketidakpastian politik, ia tetap menjadi simbol harapan. 

Jejak langkahnya sebagai seorang reformis muda akan selalu dikenang, tak peduli berapa banyak aral yang harus ia hadapi. 

Baginya, politik adalah tentang berjuang untuk yang benar, bukan untuk bertahan di puncak kekuasaan.

Di tengah gemuruh politik yang tak pernah berhenti, Lexi telah menunjukkan bahwa harapan akan selalu ada bagi mereka yang berani melawan arus. (*)

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved