Cerpen: Aku yang Lain

Oleh: Marsel Koka*

POS-KUPANG.COM - Pagi belum benar-benar muncul ketika Lina sudah bangun. Hening di rumah besar itu hanya dipecah suara jam dinding dan langkah kecilnya ke dapur.

Seperti biasa, ia harus lebih dulu bangun dari siapa pun di rumah itu. Cepat-cepat ia membuka keran, mencuci beras, menyapu lantai dan lain-lain. Semuanya ia lakukan dengan tulus tanpa suara.

Sudah empat tahun ia bekerja di rumah ini. Empat tahun tanpa pelukan anak, tanpa melihat senyum suaminya, tanpa tahu apakah ayahnya masih bisa ke ladang atau hanya terbaring lemah di kamar.

Pagi ini ada sesuatu berbeda. Ada suara keras dari lantai atas. Suara majikannya, Ibu Jesika. 

Teriakan yang biasa. Kesalahan kecil menjadi amarah besar. Hanya karena handuk anaknya tidak diletakkan di kamar mandi.

"Kenapa kamu bodoh sekali, Lina?! Sudah saya bilang berkali-kali!"

Pada saat-saat seperti itu, Lina menunduk. Namun ia tahu hatinya sakit sekali.

"Maaf, Bu," katanya pelan.

Sudah lama sesuatu di dalam dirinya retak. Bukan karena teriakan itu baru, tapi karena teriakan itu selalu ada. Sering gajinya tak dikasih gara-gara hal demikian.

Ia kadang bertanya: Apakah aku benar-benar tidak berarti?

Malam harinya, Lina duduk di belakang rumah, di dekat jemuran. Ia menatap langit sambil mengusap matanya. Ia ingin pulang. 

Tapi bagaimana? Anak-anaknya butuh biaya sekolah. Ibunya butuh obat. Ia tidak punya pilihan.

Sementara itu, Ibu Jesika duduk di ruang tamu, mengutak-atik layar hp. Tiba-tiba, ia mendapat pesan dari putrinya, yang dikirim diam-diam dari kamar. 

Bunyinya begini: "Mama, kenapa Mama suka marahi Kak Lina? Padahal dia kerja capek. Kenapa gajinya tak dikasih? Dia juga punya anak kan? Kenapa Mama tidak baik ke dia? Mama tega!"