Opini
Opini: Setitik Optimisme Dari Kota Karang di Tengah Kemuraman Nasional
Tata kelola pemerintahan adalah jantung utama yang akan menentukan “mood” masyarakat secara umum.
Oleh: Ivan Gideon Fanggidae dan Nike Frans *
POS-KUPANG.COM - Menjelang ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-80 tahun 2025 ini, suasana tidak gegap apalagi gempita.
Sebaliknya, aura lesu dan pesimisme berbagai kalangan menjadi sorotan media. Seharusnya usia 80 tahun adalah cerminan periode yang matang dan dewasa.
Namun dengan berbagai situasi saat ini, seolah-olah kita baru belajar bernegara saja: merangkak dan jatuh bangun.

Hari-hari ini kita melihat pesimisme pemuda yang terejawantahkan dalam bentuk-bentuknya yang beragam, mulai dari kampanye “Indonesia Gelap”, “Kabur Aja Dulu”, sampai yang terakhir adalah pengibaran bendera Jolly Roger dari Anime One Piece.
Fenomena tersebut bukan lahir dari ruang kosong melainkan terdapat alasan kuat di balik munculnya rentetan protes berbasis pesimisme terhadap kinerja pemerintahan di negara tercinta.
Tata kelola pemerintahan adalah jantung utama yang akan menentukan “mood” masyarakat secara umum.
Bagaimana pemerintah mengorkestrasi tata kelola akan sangat berdampak pada persepsi publik.
Entah itu persepsi optimis ataupun pesimis yang dirasakan oleh masyarakat, semuanya bergantung pada performa pemerintah dalam merancang dan menjalankan tata kelola pemerintahannya.
Sebelum membahas lebih jauh, akan lebih baik jika kita melihat beberapa data penting yang akan menggambarkan keadaan dan konteks yang mendasari terbitnya pesimisme pemuda Indonesia.
Pertama, angka pengangguran di Indonesia saat ini terbilang tinggi, telah mencapai angka 7,28 juta orang (BPS, 2025). Setengah dari jumlah tersebut adalah anak muda.
Ditambah dengan persepsi para pemuda yang masih pesimis dengan kesempatan kerja di negeri ini yang tergambar lewat data Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK) di bulan Juli 2025, yakni 95,3, menurun dari bulan April 2025 yang sempat mencapai angka 101,6 (Survey BI, 2025).
Kepelikan ekonomi ini juga semakin terekspos dengan munculnya fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) atau bentuk kombinasi lainnya yang sedikit-banyak menjelaskan betapa daya beli masyarakat terus menurun sebagai akibat dari lesunya ekonomi dalam negeri.
Tentu saja hal ini adalah ekses dari serangkaian kebijakan-kebijakan pemerintah yang melemahkan performa ekonomi negara pada saat-saat ini.

Mulai dari MBG dan Danantara yang menuai keraguan publik dan tentu saja hasil dari program-program ini belum bisa terlihat dalam jangka pendek.
Hingga bagaimana kita melihat prinsip meritokrasi dikangkangi di level lembaga-lembaga nasional.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.