Opini

Opini: Dilema Kampanye di Media Sosial

Dalam era digital yang kian berkembang pesat, komunikasi politik tidak lagi terbatas pada saluran-saluran tradisional seperti televisi, radio,koran.

Editor: Dion DB Putra
POS-KUPANG.COM/HO
Ilustrasi 

Sebuah video TikTok yang viral dapat memberikan kesan bahwa seorang Paslon memiliki popularitas yang tinggi, meskipun popularitas tersebut belum tentu didasarkan pada kebijakan atau ideologi politik yang jelas. 

Dalam analisis semiotika kritis, penting untuk memahami bagaimana tanda-tanda viral ini membentuk makna dalam konteks pemilu, dan bagaimana makna ini diproses oleh pemilih flying voters yang sering kali mencari isyarat sosial daripada melakukan analisis politik yang mendalam.

Konten Politik di TikTok

Pemilih flying voters merupakan kelompok yang cenderung tidak memiliki
loyalitas politik terhadap salah satu Paslon, sehingga mereka sangat dipengaruhi oleh tren dan opini yang berkembang, termasuk yang berasal dari media sosial seperti TikTok

Dalam konteks ini, TikTok menjadi platform yang sangat efektif dalam membentuk persepsi mereka karena sifatnya yang visual, singkat, dan viral.

Namun, pesan-pesan politik yang disajikan di TikTok sering kali dibungkus dalam format hiburan, membuat audiens lebih tertarik pada estetika dan gaya penyampaian daripada konten kebijakan atau ideologi yang ditawarkan.

Analisis semiotika kritis terhadap respons flying voters terhadap konten politik di TikTok dapat mengungkap bagaimana makna politik diproduksi dan dikonsumsi secara cepat. 

Dalam teori semiotika, Roland Barthes (1957) dalam Mythologies menjelaskan bahwa tanda-tanda sering kali mengandung makna mitis, di mana makna literal dari sebuah tanda (seperti video kampanye Paslon) dikaitkan dengan konotasi yang lebih luas dan simbolik (seperti citra Paslon sebagai pemimpin modern atau pemimpin dekat dengan rakyat).

Misalnya, sebuah video TikTok yang menampilkan seorang Paslon sedang
melakukan tarian populer mungkin akan diterima oleh flying voters sebagai tanda bahwa Paslon tersebut mengikuti perkembangan zaman atau dekat dengan kaum muda. 

Dalam hal ini, tanda visual (tarian) dan konteks musik TikTok menciptakan sebuah makna yang berkonotasi modernitas dan keterbukaan. 

Akan tetapi, semiotika kritis juga mengajak kita untuk mempertanyakan, apakah persepsi yang dibentuk melalui tanda-tanda ini memiliki dasar yang kuat dalam kebijakan atau program yang nyata, atau hanya sekadar citra permukaan yang dibangun untuk menarik perhatian pemilih sementara?

Pemilih flying voters, yang sering kali terpengaruh oleh visual dan tren, cenderung menanggapi tanda-tanda yang bersifat estetis dan simbolis. 

Namun, analisis semiotika kritis memperlihatkan bagaimana penerimaan tanda-tanda tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial-politik. 

Bagi pemilih yang kurang memiliki keterlibatan politik, viralitas sebuah video atau tampilan visual yang menarik sering kali menggantikan kebutuhan akan analisis mendalam terhadap visi dan misi Paslon. 

Dengan demikian, makna yang diterima oleh pemilih flying voters mungkin lebih merupakan hasil dari konstruksi media daripada refleksi dari kebijakan nyata. (*)

 

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved