Opini
Opini: Dilema Kampanye di Media Sosial
Dalam era digital yang kian berkembang pesat, komunikasi politik tidak lagi terbatas pada saluran-saluran tradisional seperti televisi, radio,koran.
Oleh: Helga Maria Evarista Gero
Dosen Sosiologi Fisip Undana Kupang
POS-KUPANG.COM - Kontestasi pemilihan umum kepala daerah serentak memasuki fase krusial.
Setelah tahap penetapan dan pengundian nomor urut, berikutnya ialah tahap kampanye. Tahap kampanye dianggap krusial terutama saat ini, proses kampanye tidak hanya berlangsung secara konvensional, datar dan itu-itu saja.
Sejalan dengan perkembangan media dan teknologi informasi saat ini, ruang dan isi kampanye menjadi sangat beragam. Di titik itu, komunikasi politik memiliki varian definisi yang amat beragam.
Dalam era digital yang kian berkembang pesat, komunikasi politik tidak lagi terbatas pada saluran-saluran tradisional seperti televisi, radio, atau koran.
Media sosial, khususnya platform video pendek seperti TikTok, telah menjadi wahana yang sangat efektif untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada masyarakat.
Salah satu fenomena menarik dalam pemilu kontemporer di Indonesia adalah peran TikTok dalam membentuk persepsi pemilih, terutama kelompok pemilih yang sering disebut sebagai flying voters—pemilih yang belum memiliki afiliasi politik yang kuatdan cenderung berubah-ubah dalam memilih kandidat.
TikTok, misalnya, yang awalnya populer sebagai platform hiburan bagi kaum muda, kini telah berevolusi menjadi sarana komunikasi politik yang signifikan.
Kandidat pasangan calon (Paslon) sering kali memanfaatkan platform ini untuk menyampaikan pesan, melakukan kampanye, dan membangun citra politik mereka dengan cara yang lebih santai, kreatif, dan mudah diterima.
Dalam konteks pemilu, TikTok menjadi arena baru bagi kampanye politik, di mana Paslon berlomba-lomba memanfaatkan fitur video pendek untuk mengemas pesan politik secara efektif dan viral.
Dengan demikian, viralitas di TikTok dapat mempengaruhi preferensi pemilih flying voters yang cenderung terpapar oleh konten viral.
Di sisi lain, pemilih flying voters cenderung lebih reaktif terhadap isu-isu yang sedang tren di media sosial daripada pemilih yang sudah memiliki afiliasi politik yang kuat.
Oleh karena itu, penting untuk menganalisis bagaimana Paslon menggunakan TikTok dan bagaimana fenomena viral di platform tersebut berdampak pada perilaku pemilih flying voters melalui pendekatan semiotika kritis.
TikTok dan Kampanye Paslon
TikTok telah menjadi salah satu platform media sosial terdepan dalam kampanye politik di Indonesia. Kandidat Paslon sering kali menggunakan platform ini untuk menyampaikan pesan politik dengan cara yang lebih kreatif dan interaktif.
Dalam konteks pemilu, TikTok menawarkan keuntungan unik bagi Paslon, yaitu kemampuannya untuk membuat konten viral yang dapat menjangkau audiens secara masif dalam waktu singkat.
Viralitas ini sangat penting, terutama dalam menjangkau flying voters yang kerap terpapar oleh tren media sosial dan konten viral daripada terlibat dalam diskusi politik yang mendalam.
Seperti yang diungkapkan Barthes (1967), dalam karya semiotiknya, Image- Music-Text, tanda-tanda visual dan audio tidak pernah netral. Mereka selalu diisi dengan makna yang dipengaruhi oleh konteks sosial dan politik.
Dalam konteks kampanye politik di TikTok, makna ini sering kali berhubungan dengan citra Paslon sebagai individu yang dekat dengan rakyat, modern, atau progresif.
Misalnya, video Paslon yang memperlihatkan mereka sedang berinteraksi dengan rakyat di pasar atau bergoyang mengikuti tren musik populer dapat memberikan kesan bahwa mereka adalah pemimpin yang merakyat dan memahami kebutuhan masyarakat.
Namun, penting juga untuk menganalisis bagaimana pesan-pesan tersebut diterima oleh audiens, khususnya flying voters. TikTok adalah platform yang sangat visual, sehingga tanda-tanda visual sering kali lebih dominan daripada pesan verbal.
Dalam analisis semiotika kritis, kita dapat melihat bagaimana tanda-tanda visual ini sering kali menggantikan argumen politik yang lebih substansial.
Hal ini dapat berdampak pada perilaku pemilih flying voters, yang mungkin lebih terpengaruh oleh citra Paslon daripada oleh kebijakan yang mereka tawarkan.
Flying voters dan TikTok
Flying voters adalah kelompok pemilih yang sangat strategis dalam pemilu. Mereka tidak memiliki afiliasi politik yang kuat dan cenderung memutuskan pilihannya berdasarkan tren atau isu-isu yang sedang berkembang.
TikTok, sebagai platform yang sangat bergantung pada konten viral, menawarkan ruang yang ideal untuk mempengaruhi kelompok ini.
Dalam analisis semiotika kritis, viralitas di TikTok dapat dipahami sebagai serangkaian tanda-tanda yang secara cepat menyebar di antara audiens, menciptakan makna kolektif yang dapat mempengaruhi perilaku pemilih.
Sebagai contoh, sebuah video TikTok dari Paslon yang menjadi viral mungkin tidak hanya menarik perhatian karena pesan politik yang disampaikan, tetapi juga karena unsur hiburan atau keunikan dari video tersebut.
Seperti yang dijelaskan oleh Eco (1976) dalam A Theory of Semiotics, tanda-tanda viral sering kali bekerja pada level asosiasi, di mana sebuah tanda (misalnya, video tarian Paslon) dapat diasosiasikan dengan ide-ide lain yang lebih luas (seperti Paslon ini dekat dengan kaum muda atau Paslon ini kreatif dan inovatif).
Bagi flying voters, viralitas ini dapat membentuk persepsi mereka tentang siapa yang dianggap sebagai pemimpin yang relevan.
Sebuah video TikTok yang viral dapat memberikan kesan bahwa seorang Paslon memiliki popularitas yang tinggi, meskipun popularitas tersebut belum tentu didasarkan pada kebijakan atau ideologi politik yang jelas.
Dalam analisis semiotika kritis, penting untuk memahami bagaimana tanda-tanda viral ini membentuk makna dalam konteks pemilu, dan bagaimana makna ini diproses oleh pemilih flying voters yang sering kali mencari isyarat sosial daripada melakukan analisis politik yang mendalam.
Konten Politik di TikTok
Pemilih flying voters merupakan kelompok yang cenderung tidak memiliki
loyalitas politik terhadap salah satu Paslon, sehingga mereka sangat dipengaruhi oleh tren dan opini yang berkembang, termasuk yang berasal dari media sosial seperti TikTok.
Dalam konteks ini, TikTok menjadi platform yang sangat efektif dalam membentuk persepsi mereka karena sifatnya yang visual, singkat, dan viral.
Namun, pesan-pesan politik yang disajikan di TikTok sering kali dibungkus dalam format hiburan, membuat audiens lebih tertarik pada estetika dan gaya penyampaian daripada konten kebijakan atau ideologi yang ditawarkan.
Analisis semiotika kritis terhadap respons flying voters terhadap konten politik di TikTok dapat mengungkap bagaimana makna politik diproduksi dan dikonsumsi secara cepat.
Dalam teori semiotika, Roland Barthes (1957) dalam Mythologies menjelaskan bahwa tanda-tanda sering kali mengandung makna mitis, di mana makna literal dari sebuah tanda (seperti video kampanye Paslon) dikaitkan dengan konotasi yang lebih luas dan simbolik (seperti citra Paslon sebagai pemimpin modern atau pemimpin dekat dengan rakyat).
Misalnya, sebuah video TikTok yang menampilkan seorang Paslon sedang
melakukan tarian populer mungkin akan diterima oleh flying voters sebagai tanda bahwa Paslon tersebut mengikuti perkembangan zaman atau dekat dengan kaum muda.
Dalam hal ini, tanda visual (tarian) dan konteks musik TikTok menciptakan sebuah makna yang berkonotasi modernitas dan keterbukaan.
Akan tetapi, semiotika kritis juga mengajak kita untuk mempertanyakan, apakah persepsi yang dibentuk melalui tanda-tanda ini memiliki dasar yang kuat dalam kebijakan atau program yang nyata, atau hanya sekadar citra permukaan yang dibangun untuk menarik perhatian pemilih sementara?
Pemilih flying voters, yang sering kali terpengaruh oleh visual dan tren, cenderung menanggapi tanda-tanda yang bersifat estetis dan simbolis.
Namun, analisis semiotika kritis memperlihatkan bagaimana penerimaan tanda-tanda tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial-politik.
Bagi pemilih yang kurang memiliki keterlibatan politik, viralitas sebuah video atau tampilan visual yang menarik sering kali menggantikan kebutuhan akan analisis mendalam terhadap visi dan misi Paslon.
Dengan demikian, makna yang diterima oleh pemilih flying voters mungkin lebih merupakan hasil dari konstruksi media daripada refleksi dari kebijakan nyata. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.