Opini

Opini: Femisida sebagai Puncak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perempuan cenderung menjadi obyek kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan seolah dibenarkan untuk dianiaya dalam wewenang suami.

|
Editor: Dion DB Putra
DOK POS KUPANG.COM
Pendeta Emmy Sahertian, M.Th 

Tetapi juga ada misteri yang sulit terpecahkan yang ada hubungannya dengan pengabdian cinta yang terlilit dalam lingkaran kekerasan laki-laki pilihan hatinya. 

Lingkaran kekerasan itu sebagai berikut: (1) Perbedaan karakter yang tak terkelola/salah paham/pertengkaran, (2) Tekanan Psikologis, kekerasan verbal/caci/menghina merendahkan, (3) perkelahian fisik, (4) Tobat semua/perdamaian sementara dan bulan madu, (5) Tekan.  

Dalam kasus Mei lingkaran kekerasan ini selalu berulang dan akhirnya  berhenti pada ulangan jebakan ketiga yakni kematian. 

Karena pertimbangan demi anak-anak dan jeratan lingkaran kekerasan di atas, Mei sulit mengambil keputusan untuk berpisah lalu pasrah pada kebrutalan suaminya hingga mengalami kematian. 

Siapa Pelaku KDRT

Dalam pengalaman mendampingi perempuan korban  KDRT di NTT, ada beberapa tipe pelaku: 

Tipe1: Pelaku adalah seseorang yang dibentuk dalam budaya patriarki baik perspektif, maupun perilakunya. 

Dalam budaya ini hubungan laki-laki dan perempuan berdasarkan relasi kuasa, menempatkan laki-laki sebagai  pemilik otoritas  kuasa, pengambilan keputusan dan penguasaan properti. 

Perempuan dan anak-anaknya merupakan hak milik di bawah kendalinya (subordinatif).  Anak laki-laki sangat penting dalam keluarga sebagai pemimpin dan pengusung marga dalam soal adat istiadat dibandingkan anak perempuan. 

Bahaya dari pemahaman dan perilaku ini adalah  tindakan diskriminatif  bias gender terhadap perempuan sehingga bisa menimbulkan kekerasan dan penindasan laki-laki terhadap perempuan.

Tipe 2: Pelaku yang terlibat tergantung pada alkohol. Beberapa minuman keras yang mengandung alkohol sifatnya stimulan. Mendorong seorang untuk berperilaku agresif dan melakukan kekerasan baik di dalam rumah maupun di ruang publik. 

Minuman keras membuat peminum menjadi ketagihan untuk menambah dosis. Pada beberapa kasus memicu kekerasan dan pembunuhan. 

Tipe 3 : Pelaku adalah penyintas KDRT. Dia ikut menyaksikan dan mengalami secara traumatik pertengkaran dan kekerasan brutal yang dilakukan ayah terhadap ibunya, bahkan besar kemungkinan dia juga mengalami kekerasan berulang yang dilakukan oleh orang dewasa dalam rumahnya. 

Bila anak ini survive dia akan bertumbuh dengan kepribadian ganda. Di depan publik dia bagaikan “malaikat” penyelamat yang disukai banyak orang, tetapi di dalam rumah dia bisa berubah sebagai monster predator yang memangsa orang-orang di dalamnya termasuk istri dan anak anaknya. 

Bagi korban perilaku kekerasan ayah dan orang dewasa dalam rumahnya meniru dengan utuh di alam bawah sadarnya sehingga memori kesannya berisikan pengalaman kekerasan. 

Seorang ahli psikologi  perkembangan seperti mendiang Prof. Dr. Singgih Gunarsa mengatakan bahwa perilaku anak setelah dewasa adalah “perintah evaluatif dari memori pengalamannya.” 

Bila dia menanamkan perilaku kekerasan di memorinya maka besar kemungkinan dia akan menjadi photocopy dari perilaku orang dewasa di sekelilingnya. 

Dia bisa saja mengalami sindrom bipolar dan atau sindrom ‘borderline’ yang menunjuk pada seseorang dengan kepribadian ganda.

Tipe-tipe pelaku ini bisa berdiri sendiri tetapi juga bisa berpadu dalam diri seseorang. Dalam  kasus Mei kemungkinan besar tipe yang ada dalam diri suaminya tidak tunggal. 

Mungkin lebih dari satu sehingga uji analisis psikologik forensik amat penting dalam menentukan tingkat dan bahaya kejahatan yang dilakukannya terhadap istri serta anak-anaknya.

Dampak Terhadap Anak-Anak

Konsekuensi cukup besar terhadap kesehatan mental dan pisik keluarga terdampak KDRT  berujung kematian, terutama anak anak. 

Beberapa bentuk  kekerasan ayah terhadap ibunya akan berdampak sama seperti mereka mengalami sendiri kekerasan itu. 

Bahayanya ketika kekerasan ini disaksikan sejak usia dini dapat menimbulkan trauma, takut, terluka, sedih berduka, marah yang tersimpan lama dan dendam, rasa tidak aman dan tidak nyaman serta kehilangan kepercayaan diri. 

Perasaan tersebut akan membayangi perjalanan anak anak ini ke masa depan setelah kehilangan ibu. 

Rasa malu yang mendalam karena kehilangan figur ayah sebagai pelaku kekerasan yang harus dipenjarakan. Kondisi psikologi anak-anak ini  harus menjadi perhatian khusus dalam penanganan kasus ini. 

Analisis psikologik yang tepat dibutuhkan untuk menentukan bentuk pendampingan yang harus dilakukan, terutama menentukan keluarga pelindung yang tepat. Selanjutnya mengawal proses hukum agar berlangsung dengan seadil-adilnya.  

Saya menyusun tulisan ini sebagai kenangan untuk Yosefina Maria Mei yang telah tiada, dan berduka mendalam bersama anak-anaknya yang beranjak dewasa. (*)

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved