Opini

Opini: Femisida sebagai Puncak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perempuan cenderung menjadi obyek kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan seolah dibenarkan untuk dianiaya dalam wewenang suami.

|
Editor: Dion DB Putra
DOK POS KUPANG.COM
Pendeta Emmy Sahertian, M.Th 

Kondisi demikian akan membuat seseorang begitu sulit mengelola perbedaan latar belakang kehidupan pasangannya dalam rumah tangga. 

Nafsu untuk menguasai dan memperkecil posisi pasangannya cukup tinggi sehingga perbedaan sekecil apapun akan dianggap ancaman  bagi kekuasaannya. Kasus seperti ini cukup tinggi dalam keluarga di Indonesia umumnya dan lebih khusus di Nusa Tenggara Timur.

Berdasarkan data Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DP3A) sepanjang 2023 setidaknya ada 1.026 kasus kekerasan terhadap Perempuan dengan total 1.088 korban. 

Sementara dalam data Unit Pelaksana Teknis daerah Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) NTT menunjukan bahwa selama Januari 2024 ada 33 kasus yang tercatat. 

Data  ini tidak merepresentasikan tinggi rendahnya kekerasan terhadap perempuan dan anak tetapi merupakan bukti adanya kekerasan dalam masyarakat. 

Kekerasan tersebut sebagian besar tidak terlaporkan dan tidak terdata. Patut diduga kekerasan tersebut berlangsung dalam diam. 

Berbagai lembaga pengadalayanan yang fokus pada isus perempuan dan anak seperti Rumah Harapan GMIT dan Rumah Perempuan di Kupang, Sanggar Suara Perempuan di  Soe, TRUK-F di Flores, Women Crisis Center-Gereja Kristen Sumba,  dapat menggambarkan berbagai bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan di wilayah ini. 

Pandangan Hukum tentang KDRT 

Definisi KDRT menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2004, pasal 1 menyatakan: Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 

Pada Bab III tentang Larangan KDRT Pasal 5 disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: Kekerasan fisik; kekerasan psikis; kekerasan seksual; dan atau penelantaran rumah tangga. 

Bentuk penerapan pasal penganiayaan Pasal 44 :1-3 khususnya Pasal 3 tentang penganiayaan sehingga menyebabkan matinya korban dipidana dengan pidana penjara 15 tahun atau denda paling banyak 30 juta rupiah. 

Jenis vonis dalam regulasi ini yang menyebabkan kematian belum mengarah pada perspektif femisida

Femisida tingkat global

Definisi femisida, menurut UN Women,  ialah kekerasan brutal dan  pembunuhan intensional berbasis relasi gender (gender-related motivation) terhadap perempuan (femicide/ feminicide). 

Kekerasan  ekstrem ini disebabkan oleh stereotip gender dalam budaya patriarki dan agama, diskriminasi terhadap perempuan, hubungan yang tidak setara atau timpang antara perempuan dan laki- laki, adanya norma-norma atau keyakinan (conviction) berbahaya dalam masyarakat. 

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved