Opini

Opini: Femisida sebagai Puncak Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Perempuan cenderung menjadi obyek kekerasan dalam rumah tangga. Perempuan seolah dibenarkan untuk dianiaya dalam wewenang suami.

|
Editor: Dion DB Putra
DOK POS KUPANG.COM
Pendeta Emmy Sahertian, M.Th 

Ada lima temuan berbahaya dalam laporan UN Women menyangkut femisida, di antaranya:

pertama, femisida terjadi melalui kekerasan brutal dan pembunuhan terhadap perempuan, paling banyak  dilakukan oleh orang terdekat. Baik oleh pasangan intimnya maupun oleh anggota keluarga terdekat. 

Sampai hari ini kekerasan brutal ini masih belum bisa dihentikan. Minimnya upaya  intervensi dini dan pencegahan, tak meratanya kebijakan negara yang berbasis keadilan gender dan masih sulitnya masyarakat mengakses  pusat pelayanan serta perlindungan bagi korban kekerasan terhadap perempuan secara holistik.

Bentuk penanganan secara menyeluruh berupa: pencegahan, penanganan hukum dan psiko-sosial, reintegrasi sosial, pengembangan kapasitas kemandirian dan pemberdayaan resiliensi ekonomi untuk menjadi  agen perubahan dalam masyrakat.   

Femisida adalah problem universal karena hampir semua negara di dunia mengalaminya  dan melaporkannya baik Eropa, Afrika, Asia, dan belahan benua lainnya. Bila dibandingkan jumlah penduduk dengan jumlah kasus yang terjadi maka pada tahun 2022 ada 0,8 per 100,000 perempuan dan gadis di Asia terbunuh oleh pasangan intimnya atau angota keluarga lain. 

Angka ini menunjukan signifikansi keterancaman bagi jiwa perempuan karena meskipun dalam angka dianggap kecil tapi bahayanya makin meluas. 

Femisida dalam urutan kekerasan terhadap perempuan cenderung makin tinggi karena merupakan puncak gunung es dari sejumlah tindakan kejahatan terhadap perempuan, ketidak adilan gender dan ketidak adilan sosial yang tidak terlaporkan. 

Bahkan, minimnya data identifikasi yang akurat,  mempengaruhi penanganan yang tidak tuntas serta sulitnya menghentikan kejahatan ini. Kekerasan  ini cukup berbahaya berkelindan dengan kekerasan berbasis geder lainnya dalam wilayah privat.

Ada beberapa kelompok spesifik perempuan yang menghadapi risiko berbahaya ini. Selain perempuan dalam rumah tangga, juga perempuan dalam politik, perempuan pembela HAM, perempuan jurnalis dan perempuan difabel. Mereka merupakan target dari kekerasan yang intens ini. 

Femisida, dapat dan harus dicegah meskipun tak dapat dielakkan. Hal ini perlu dilakukan melalui inisiatif  pencegahan dini yang terfokus pada transformasi norma-norma atau keyakinan dalam masyarakat yang berbahaya. 

Mereka mengusulkan agar adanya gerakan intensif zero toleransi terhadap kekerasan terhadap perempuan. Perlu adanya kajian risiko yang terencana dengan baik dalam masyarakat rentan. 

Adanya kemudahan bagi masyarakat terutama korban untuk mengakses informasi, melakukan  pengaduan dan adanya pusat layanan serta perlindungan yang mudah terjangkau. 

Lingkaran Kekerasan dan Femisida

Berhadapan dengan persoalan ini, masih banyak korban KDRT memilih jalan damai atau restoratif karena alasan agama dan alasan demi anak-anaknya. Apalagi dampak dari kekerasan brutal itu berakhir dengan perceraian. 

Itu bukan jalan yang mudah untuk ditempuh seorang perempuan menikah yang memiliki anak-anak, karena dianggap akan lebih menderita terutama anak-anak. 

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved