Opini

Opini: Antara Erina Gudiono dan Onny Njo

Bukan maksud tulisan untuk membuat perbandingan. Tetapi kisah ini menarik untuk diangkat sebagai bahan refleksi.

Editor: Dion DB Putra
FOTO KIRIMAN ROBERT BALA
Brigjen Anton Enga Tifaona (kiri) dan istrinya Veronika Wilhelmina Njo atau biasa disapa Onny Njo. 

Bagi penulis Amerika Serikat beraliran pemikiran baru yang menjadi salah satu produser genre sastra kesuksesan pribadi modern pertama dan merupakan salah satu penulis buku bertopik kesuksesan terhebat ini memberikan jawaban yang telak bahwa semuanya berawal dari disiplin diri. 

Baginya,  “Self-discipline starts with the mastery of your thoughts. If you don’t control what you think, you can’t control what you do.” 

(“Disiplin diri dimulai dari penguasaan pikiran. Jika Anda tidak mengendalikan apa yang Anda pikirkan, Anda tidak bisa mengendalikan apa yang Anda lakukan”). 

Itu berarti apa yang dilakukan Erina, istri Kaesang, dan mantu Jokowi (dan banyak wanita yang ‘doyan’ flexing) bersumber dari pikirannya. Ia (mereka) tidak menguasai pikiran yang berakibat pada susahnya mengendalikan perbuatan. 

Onny, Sudut yang Lain 

Rabu 10 September 2024, seorang wanita, Onny Njo ( nama lengkapnya Veronika Wilhelmina Njo ) berusia 81 wafat dalam sunyi. 

Ia adalah istri alm Brigjen Anton Enga Tifaona yang sudah wafat 7 tahun lalu, pada Minggu (15/10 2017). Kematian wanita yang menempati sebuah rumah sederhana di Kebon Baru Tebet sejak suaminya belum menjadi apa-apa hingga kini. 

Rumah seperti ini tentu tidak sebanding dengan aneka jabatan (dan aneka peluang memperkaya diri) sejak menjadi Kapolda di Maluku, Sulawesi Utara, dan terakhir Wakapolda Jawa Barat. Tetapi yang terjadi seperti itu dan ia dibaringkan di rumah yang ia tempati selama 60 tahun. 

Pertanyaannya, apakah Onny Njo  sebagai istri seorang jenderal (meskipun pangkat itu baru dinikmati setahun sebelum pensiun) tidak tergoda agar bisa memanfaatkan jabatan suaminya untuk bisa memperkaya diri atau minimal membeli rumah yang jauh lebih wow buat menampung anak-anaknya yang hampir sebuah keseblasan sepak bola itu? 

Apakah ia tidak bisa ‘mencolek’ sedikit saja suaminya yang saat menjadi Komtarres Khusus Timtim (setingkat Kapolda) memiliki kewenangan atas berkarung-karung uang yang digelontorkan untuk mempercepat integrasi Timtim? 

Kesempatan itu mengapa tidak ia manfaatkan saat menjabat Kapolda di Maluku dan Sulawesi Utara dan Wakapolda Jawa Barat? 

Tetapi ia tahu mana yang harus dilakukan sebagai hal wajar dan mana yang tidak boleh dilakukan. 

Itu berarti wanita Ende ini mengontrol pikirannya lebih dahulu sehingga kemudian tindakan itu hanya mengikuti apa yang telah disetting oleh pikiran dan terbukti dari keberhasilan anak-anaknya. 

Kepiawaiannya tidak hanya di situ. Kecemerlangan dan kebijaksan terukur dan terlihat yang menjadi ‘buah bibir’ keberhasilan Anton Enga Tifaona secara logis mestinya diapresiasi dengan pemberian kepercayaan yang lebih tinggi. 

Logis pula ketika kepercayaan yang diharapkan bukan saja tidak diperoleh tetapi malah diturunkan ke jenjang di bawahnya (seperti penurunan Polda Sulawesi Utara ke tipe C) sehingga pangkat Anton tetap Kolonel atau penurunan menjadi Wakapolda setelah 2 kali Kapolda harusnya ditanggapi dengan berontak. 

Halaman
123
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved