Opini

Opini: Repatriasi Koleksi Jaap Kunst ke Nusa Tenggara Timur

Jadi, orang-orang dari Afrika atau Asia belum pernah mendengarkan musik dari Amerika Selatan atau Pasifik, begitu pula sebaliknya. 

|
Editor: Dion DB Putra
POS KUPANG/HO
Kurator Koleksi Jaap Kunst dan dosen di Universitet van Amsterdam, Research Fellow di IRGSC, Barbara Titus (kiri). 

Ada juga banyak koleganya di Indonesia, yang tanpa mereka Jaap Kunst tidak akan pernah bisa melakukan penelitiannya. 

Mereka antara lain pembicara budaya, penerjemah, cendekiawan, penasihat, dan musisi yang membantunya menelusuri nama-nama tarian, tangga nada, dan hierarki budaya lokal. 

Beberapa nama yang muncul, karena Kunst menyebut mereka seperti: pemusik keraton Joyodipuro di Yogyakarta, ulama Kusumadinata dan Wiranatakusuma di Sunda, misionaris Jan Verschueren di Papua, dan Pieter Middelkoop untuk Zending di Timor. 

Mereka yang namanya kita kenal sering kali karena posisi istimewa dalam masyarakat kolonial Hindia Belanda: anggota bangsawan Jawa atau zending Belanda yang disebutkan di atas. 

Hingga kini kami belum mengetahui nama orang Flores, Timor, Sumba, Nias atau Waigéo yang ikut membantu Kunst merekam dan memahami musik setempat. 

Setelah satu abad rekaman fonograf

Setelah Kunst, banyak orang yang juga merekam musik-musik asal Indonesia pada tahun 1920-an dan 1930-an dan mengirimkan rekamannya ke Eropa, masyarakat di Eropa bisa mendengar langsung musik tersebut. 

Namun bagaimana dengan masyarakat Indonesia? Bisakah mereka terus mendengarkan musik mereka? Seringkali mereka tidak bisa. 

Kunst benar dalam memperkirakan bahwa banyak dari musik-musik ini akan berhenti dimainkan, terutama karena dampak misi Kristen dan budaya massa global. 

Dia telah membawa rekamannya ke Eropa, dan rekaman itu sampai sekarang tersimpan di perpustakaan Universitas Amsterdam (setelah lolos dari kerusakan Perang Dunia II), dan terpisah dari tempat orang-orang yang pernah memainkan musik ini. 

Mereka yang memainkannya mungkin saja telah lama berpulang. Namun, Bisakah kita mengubahnya? 

Bisakah kita menghubungkan kembali musik ini dengan pewaris budaya orang-orang yang membuat musik tersebut? Dan apa yang akan terjadi, jika kita melakukan ini, terhadap musik dan masyarakatnya? 

Akankah musik mereka kembali hidup, atau menjalani fase hidup baru, dalam musik baru, praktik baru, imajinasi dan ide baru? Ataukah, bagi sebagian, musik yang sama masih lah dimainkan oleh masyarakat di lokasi yang sama setelah satu abad? 

Proses repatriasi koleksi Jaap Kunst yang dilakukan oleh Universiteit van Amsterdam dan IRGSC, mitra kami di Indonesia, kepada Dinas Arsip dan Perpustakaan Provinsi NTT merupakan satu langkah kecil. 

Kami berharap dialog kebudayaan dalam satuan abad ini bisa dilakukan dalam rasa egaliter dan melibatkan sekian lapis generasi. 

Untuk itu 'Jaap Kunst Hoek' atau pojok Jaap Kunst akan hadir di Perpustakaan Daerah Provinsi NTT agar para pengunjung dapat membuka ‘Koleksi Jaap Kunst’ dari satu abad silam. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved