Opini
Opini: Via Opus Justitiae Pax, Catatan Panca Windu Seminari Oepoi Kupang
Pada tahun 2024 ini, Seminari Oepoi Kupang merayakan panca windu usia kehadirannya di ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Oleh Willem Berybe
Pensiunan Guru Bahasa Inggris SMA Katolik Giovanni Kupang, tinggal di Oelomin, perbatasan Kota Kupang-Kabupaten Kupang
POS-KUPANG.COM - Rentang waktu 40 tahun perjalanan hidup sebuah komunitas atau lembaga biasa disebut panca windu.
Termasuk lembaga pendidikan terutama yang berciri khas keagamaan seperti seminari, sekolah-sekolah, komunitas biara (ordo/kongregasi), institusi penerbitan dan produknya seperti Kompas, HIDUP, Basis, Pos Kupang, dan sebagainya.
Momen ini pun tidak boleh dilewati begitu saja tanpa sebuah tanda entah bentuknya perayaan untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Sang Pemilik Waktu dan Kehidupan.
Bahkan sebuah refleksi yang bersifat setback, tentang perjalanan itu, patut dilakukan. Melacak masa lalu, melihat hari ini dan menatap masa depan.
Pada tahun 2024 ini, Seminari Oepoi Kupang merayakan panca windu usia kehadirannya di ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Selain momentum 40 tahun lembaga seminari menengah ini, perlu dicatat juga bahwa di Keuskupan Agung Kupang telah terjadi peristiwa historis pada lingkup hirarki Gereja Katolik.
Uskup Petrus Turang, Pr telah usai tugas sebagai uskup sekaligus jabatan Uskup Agung di wilayah keuskupan yang meliputi Kota Kupang, Kabupaten Kupang, TTS, Rote Ndao, Sabu Raijua, dan Alor.
Status emeritus untuk Uskup Petrus Turang tentu dibarengi ungkapan rasa syukur dan terima kasih berlimpah dari seluruh umat atas tugas kegembalaan yang telah diemban beliau dan mengalami kemajuan serta perkembangan pesat.
Secara fisik, bangunan gereja Katedral Kupang yang telah direnovasi dengan tampilan artistik, megah, anggun, menjadi penting dan berharga bagi umat Katolik.
Lebih dari itu, sarana Gereja Katedral Kupang ini diresmikan oleh Presiden RI, Joko Widodo.
Bagaikan sebuah buket bunga simbol sukacita di ujung akhir masa tugas gembala Mgr. Petrus Turang, Pr. Dan, kepada Mgr. Hironimus Pakaenoni, Pr, tongkat pelayanan dan perutusan Gereja Katolik akan dilanjutkan bersama dan untuk umat dan sesama.
Dengan demikian perjalanan KAK ( Keuskupan Agung Kupang) sejak awal (1967) dengan status diosis dipimpin oleh tiga uskup yaitu Uskup Gregorius Monteiro SVD dengan moto "Opus Justitiae Pax", Uskup Petrus Turang Pr, "Per Transiit Bene Faciendo" dan Uskup RD Hironimus Pakaenoni, Pr dengan moto "Pasce Oves Meas".
Dari Kisol ke Oepoi
Mengapa dari Kisol? Sejarah berdirinya Seminari Menengah Oepoi Kupang tak dapat dipisahkan dari perjalanan dan perkembangan Gereja Katolik di Flores dan Timor, khususnya di kota Kupang dan sekitarnya.
Mengingat luasnya wilayah Keuskupan Atambua yang mencakup Timor Barat seluruhnya (RI) di bawah tongkat gembala Mgr. Theodorus Van den Tilaart SVD perlu dikembangkan wilayah dekenat maka Kupang ditetapkan sebagai sebuah dekenat baru.
Pater Adrianus Conterius SVD yang berkarya di Keuskupan Atambua waktu itu ditempatkan di Kupang sekaligus sebagai pastor Deken. Pater Adrianus inilah yang mendirikan SMA Katolik Giovani Kupang di tahun 1962.
Tepat 13 April 1967, Pater Goris Monteiro, begitu sapaan ketika beliau menjabat Prefek pertama di Seminari Kisol, Manggarai Timur, Flores, dan kemudian Rektor, ditahbiskan menjadi Uskup Kupang pertama di Kupang.
Sebuah babak baru perkembangan Gereja Katolik di daratan Timor Barat.
Saat di Kisol itulah, saya sebagai siswa Seminari (SMP, 1960-1963) tahu betul Pater Goris, sosok seorang imam yang perhatian terhadap dunia pendidikan teristimewa bagi para calon imam begitu kuat.
Di Seminari Kisol juga, beliau merintis dibukanya jenjang SMA Seminari dan kami merupakan angkatan pertama (kelas IV, 1963-1964) lalu kelas V (1964-1965). Guru Bahasa Jerman waktu itu Pater Goris sendiri.
Berdirinya SMA di Seminari Kisol ini merupakan SMA swasta pertama di Kabupaten Manggarai (belum pemekaran).
Berhubung Kisol masih mengalami kesulitan untuk melanjutkan jenjang SMA maka kami dipindahkan ke Seminari Mataloko pada Juli 1965 untuk melanjutkan kelas VI dan VII.
Ujian akhir SMA waktu itu di kelas VII dan sesuai program baru jenjang SMA Seminari, kelas VI juga serentak ikut ujian akhir saat itu juga.
Selain tugas pokok episkopal di Keuskupan (Diosis) Kupang, mencintai bidang pendidikan merupakan misi moto tahbisan Uskup Monteiro "Opus justitiae pax" (Karya keadilan dan perdamaian).
Dalam jangka waktu yang cukup lama (1967-1984) gagasan dan impian untuk menghadirkan sebuah seminari menengah di Kota Kupang, ibu kota Provinsi NTT, benar-benar jadi nyata.
Pengalaman beliau selama bertugas di Seminari Kisol (perintis) dari tahun 1955 ( tahun berdiri) hingga 1960-an bersama Pater Leo Perik SVD sebagai Rektor setidaknya menginspirasi beliau.
Ataukah, konteks sosial kehidupan masyarakat kota Kupang sebagai pusat pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur masuk dalam pemikiran para pendiri Seminari St. Raphael Oepoi Kupang. Mungkin.
Yang pasti dasar pertimbangan di balik pertumbuhan dan perkembangan Gereja Katolik di wilayah ini beserta prospeknya telah menjadi komitment, gereja dan imam (pastor).
15 Agustus 1984. Persis di hari raya Santa Maria Diangkat ke Surga, Seminari yang terletak di kawasan Oepoi- Kupang itu, masih tergolong pinggiran kota, resmi berdiri dengan nama Seminari Menengah St. Raphael (Catatan: Tulisan nama 'Raphael' sesuai SK pendirian seminari).
Sebuah oase baru di tengah kota Kupang yang gersang, garang, berbatu karang, panas.
Seiring dengan berdirinya sekolah ini, Mgr. Gregorius Monteiro SVD, Uskup Diosis Kupang, mengeluarkan Surat Keputusan nomor: 164/D.1.1/1984 tanggal 15 Agustus 1984 tentang siapa-siapa yang bakal menjadi pilar-pilar awal operasional Seminari ini baik untuk posisi fungsionaris, struktural seminari maupun staf pengajar.
Suatu waktu di sore hari, Pater Yulius Bere SVD, muncul tiba-tiba di rumah kami di Kuanino (belakang Toko Nusa Makmur), Kupang. Saya kaget namun muncul rasa penasaran, gerangan apa yang mau disampaikan Pater Yulius.
"Saya disuruh bapa Uskup untuk menyampaikan daftar ini (sederet nama) yang bakal menjadi guru di Seminari Oepoi. Dan, pak Willem termasuk salah satunya", ungkap Pater Yulius dengan senyum khasnya.
Saya pun ikut tersenyum kecil-kecil dan tanpa panjang lebar pembicaraan kami pun berlanjut.
Kemudian saya menebak, rupanya relasi Bapa Uskup selagi di Kisol itu sebagai Rektor, Prefek, guru dan saya sebagai siswa tersambung lagi di Kupang. Kebetulan saya juga sudah menyelesaikan pendidikan sarjana Bahasa Inggris, FKIP Undana dan menjabat sebagai kepala sekolah SMPK St. Yoseph Naikoten Kupang.
Salah satu butir dasar keputusan Uskup Diosis Kupang, Mgr. Gregorius Monteiro SVD nomor 164/D 1.1/1984 tanggal 15 Agustus 1984 ialah kekurangan imam di wilayah Keuskupan Kupang.
Membaca argumentasi ini, saya pikir gereja sudah dan selalu memikirkan masa depannya. Butir ini seperti memicu (trigger) target opus (pekerjaan, karya) yang disandang bapa uskup.
Untuk itu sangat dibutuhkan sekali bibit-bibit calon imam yang dapat mengikuti jalur pendidikan khusus di seminari.
Lampiran keputusan Bapa Uskup itu mencantumkan nama-nama: Pater Julius Bere SVD sebagai Preses/ Direktur Seminari, Pater Gabriel Atok SVD, wakil Preses/Direktur.
Yang berstatus awam kami lima orang: Zakarias Paun, Michael Fernandez, Martinus Sasi, Urbanus Santus dan saya sendiri.
Dari kalangan imam, Frater, dan biarawati lain ada Pater Theo Tidja Ballela SVD, Pater Josef Sievers SVD, Romo Ande Duli Kabelen Pr, Suster Agnes PRR, Suster Marissa SSpS, Frater Yustinus Phoa, Pr.
Selintas
Saya coba merekam kembali sekilas pengalaman mengajar di lembaga ini. Terbersit refleksi kecil saya. Sebagai guru Bahasa Inggris tentu punya harapan what to be achieved, pencapaian apa untuk murid/siswa.
Apalagi penunjukan ini tak lepas dari proses pendirian seminari di bawah kepemimpinan Uskup Kupang, Mgr. Gregorius Monteiro SVD. Saya merasa seperti berutang-budi kepada Bapa Uskup Monteiro.
Asumsi pertama, saya mengajar siswa yang bakal menjadi imam. Ini tentu berbeda dengan sekolah umum lainnya. Prospek masa depan para siswa belum terfokus.
Kedua, gaya atau karakter mengajar Bahasa Inggris diusahakan menarik dan menyenangkan. Siswa seminari diharapkan tampil keren, beda (difference).
Empat skills (kompetensi) Bahasa Inggris, listening, reading, speaking, and writing diterapkan. Itu idealnya.
Saya cenderung konsentrasi pada reading, speaking, and writing dengan porsi pembelajaran yang bervariasi pula. Reading teks sangat dominan plus ikutannya (pronunciation, understanding isi teks (menyimak) disajikan dengan pola "question-answer" antara guru dan siswa.
Ekspektasi saya akan jawaban siswa boleh bersifat tersurat. Secara proses, ini yang saya inginkan dalam pencapaian siswa.
Untuk mengembangkan keterampilan berbicara (speaking) kadang saya memancing perhatian kelas dengan mengajukan pertanyaan terbuka berkaitan dengan konteks bacaan.
Simak yang tersirat juga terbuka menggiring daya interpretasi. Di sini terintegrasi unsur listening saat interaksi berlangsung, all in English, of course.
Bagaimana wawasan dan pikiran siswa tentang konteks isi bacaan dituangkan dalam Bahasa Inggris komunikatif menjadi unsur penting.
Speaking target utama saya. Dan, itu diterapkan dalam speech class. Saya tentukan topik kadang tunggal atau dua tiga, tinggal siswa memilih.
Arahan saya, pilih topik yang gampang, cukup tahu, kenal/akrab, realistis/faktual (lebih baik), lalu disiapkan secara tertulis.
Disajikan di depan kelas saat jam pelajaran berikutnya dengan pola 5-10 menit, bebas, komunikatif sedapat mungkin. Menyusul komentar guru dan tanggapan kelas. Catatan terakhir guru disertai pujian dan saran.
Intinya speaking-writing terintegrasi yang bermuara pada penilaian isi, struktur, dan gaya komunikatif.
Tugas mengajar saya di Seminari Oepoi dua tahun saja. Di tahun ketiga Bahasa Inggris diajarkan oleh Frater TOP yang mulai bertugas di Seminari.
Pater Yulius menyampaikan hal itu kepada saya atas pertimbangan Bapa Uskup Monteiro. Bagi saya bukan soal lamanya waktu tugas, tapi kualitas waktu (quality time) terpakai menjadi inti.
Salah satu yang menjadi ukuran pencapaian hasil belajar-mengajar di Seminari St. Raphael Oepoi Kupang ialah speaking dalam konteks speech class.
Mengapa? Ketika siswa mampu mempresentasikan tulisannya di forum kelas sekalipun belum maksimal itu sebuah pencapaian. Aspek ini terlihat pada dua siswa Leo Mali dan Ruben Guru.
Mereka tampil lebih baik karena unsur-unsur lain dalam presentasi ini tercakup di dalamnya: writing (structure, vocabulary, phrases), communicating, pronunciation, performance (mental, gaya). Kecil tapi indah.
Seminari Dua Sekolah
Seminari Menengah St. Raphael Oepoi tercatat sebagai seminari yang sekolah SMA-nya di dua lokasi bersama SMA Katolik Giovanni Kupang.
Sejak tahun 1985 (angkatan pertama) selama beberapa tahun mengikuti proses belajar di Giovanni pagi hari. Di sanalah mereka berbaur dengan siswa/i Giovanni dalam jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.
Sedangkan pendidikan khusus seminari tetap berlangsung di Seminari Oepoi.
Menjadi unik dan menarik, sebagaimana diungkapkan mantan guru Giovanni, Martinus Ora, dari aspek proses belajar dan secara psikologis, para siswa Seminari harus bersaing dengan siswa Giovanni. Demikian, sebaliknya.
Kemampuan akademik pun terpacu. Dalam hal pematangan benih panggilan siswa seminari, benar-benar ditantang dan terjaga.
Faktor jarak Oepoi- Giovanni sekian jauh harus ditempuh dengan jalan kaki (pergi-pulang) di bawah terik matahari setiap hari. Disiplin waktu sekolah yang ketat. Apa lagi Kepala Sekolah SMA Giovanni, alm.
Frater Sarto BHK, seorang pemimpin yang terkenal tegas dan disipliner. Belum lagi beban tugas siswa yang harus dikerjakan kemudian kembali ke Seminari untuk proses pendidikan dan belajar.
Rutinitas kehidupan harian yang baku, rohani dan jasmani, semua aktivitas ini sudah pasti menguras fisik, tenaga, dan mental siswa pada dua titik yang berbeda dan berjauhan jarak.
Simbolik Almamater
"Jangan menyerah di hadapan kesulitan sebesar apapun. Tapi, kalau akhirnya kau tak nampu mengatasinya belajarlah untuk menerimanya," nasihat peneguhan ini ilontarkan mantan wali kelas III Biologi SMA Giovanni alm. Ibu Merri Mello-Noni kepada anak walinya Leo Mali (seminaris).
Kata-kata bijak itu mampu meluluhkan keresahan batinnya menghadapi situasi sekolah di dua sekolah (SMA) dengan berbagai tuntutan yang harus dipenuhi.
Penempatan dia di Jurusan yang sama sekali tak disukai pun menjadi catatan tersendiri sebab prestasi akademiknya biasa-biasa saja (Baca: RD. Leo Mali, Pr. 2012. 50 Tahun SMA Katolik Giovanni, SEJARAH, KIPRAH MENUJU ERA DIGITAL. hal.149-150).
Berdialog dan pertemuan intens antara dua sosok, satu anak wali (siswa) yang lain seorang ibu (wali kelas), terbukti berhasil menemukan solusi yang cemerlang.
Benar pernyataan Leo Mali, seorang wali kelas adalah simbolik apa yang dikenal dengan sebutan almamater.
Pengalaman hidup yang riil dan membekas ini dapat juga ditafsir sebagai sesuatu yang bersifat " tentative decision of life".
Sebuah pilihan yang harus dihadapi dan dieksekusi. Seminari berlabel seminari di dua sekolah toh akhirnya menghantar Leo Mali ke puncak, imamat.
Alumnus angkatan pertama Seminari Menengah St. Raphael Oepoi- Kupang menjadi seorang imam dan meraih gelar doktor bidang Filsafat di Roma kini mengemban tugas sebagai dosen Semi nari Tinggi St. Mikael Penfui Kupang.
Salah satu kebanggaan alma mater Seminari Menengah St. Raphael Oepoi Kupang yang menggembirakan. Selamat berpancawindu! (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.