Opini
Opini: Almarhum Nirwan Arsuka, Tanpa Titik
Di bagian dalam, ada sketsa tokoh literasi: Nirwan Ahmad Arsuka. Beliau dikenal sebagai esais. Secara berkala beliau menulis di koran nasional.
Menjadi referensi dunia literasi tanah air. Gerakannya memang start dari zero. Dari zero ke hero!
Ada pelukisan yang elok di awal buku tipis ini. Bang Nirwan bagai seorang cowboy. Pake topi bertelinga lebar. Disampingnya ada seekor kuda. Di punggung kuda itu ada tas, digendong. Isinya buku.
Itu sudah pasti. Kuda dilukiskan sementara berpacu. Dalam tradisi lokal, kuda sering diasosiasikan sebagai kekuatan, tak kenal letih, energi yang mumpuni, elan vitae.
Seakan mau menjelaskan bahwa literasi itu harus berpacu dalam dan bersama gerakan sang waktu. Waktu tidak saja digambarkan secara siklis, tetapi goalnya haruslah khairos. Literasi itu kabar gembira, the Good News.
Alm. Bang Nirwan seakan mau bilang: bersama sang waktu keabadian, gerakan literasi ini menghantar manusia dan generasi kepada pencerahan.
Aufklaurung kemanusiaan. Manusia tidak saja tampan raganya. Jiwanya dirawat, rasionalitasnya mestinya menjadi beradab, bermartabat.
Mengutip filsuf Descartes: cogito ergo sum. Gerakan literasi itu lalu mewabah ke mana-mana. Sudah menjadi gerakan dan pergerakan sosial.
Layaknya satu gerakan sosial, ada dialektika teks dan konteks. Ada ideologi. Ada big-dream.
Gerakan literasi ini bukan lahir dari vacuum.Maka, saya suka menggunakan terma: revolusi literasi!
Mungkin ini deklarasi sikap bang Nirwan: Perjalanan Belum Selesai (hlm.13). Bahwa literasi sebagai satu (per)gerakan sosial tidak mengenal berhenti. Pantha rei. Ada bukti. Banyak taman baca, simpul literasi yang bergerak bersama dalam satu jejaring sosial.
Data versi Kominfo, ada 3.000 Pustaka Bergerak Indonesia. Kolaborasi dan sinergisitas semua yang peduli, passion menjadi satu imperatif agar banyak orang memiliki akses yang sama untuk mendapat pengetahuan.
Oleh karena buku dan membaca buku, rasanya tidak tergantikan. Literasi harus menjadi kultur (culture set).
Ada sinergisitas dan kreativitas yang saling terhubung dan menghubungkan. Peluang selalu ada untuk melahirkan gen literat, bersanding apik dengan perkembangan dunia teknologi digital zaman now.
Membawa api literasi ke tengah dunia dengan kesadaran penuh. Merawat dunia-manusia dengan kompleksitasnya memaknai literasi yang positif, pro-humanitas.
Ini semacam wasiatnya. “Ingat kalian lanjutkan untuk berbagi pengetahuan dengan anak-anak Indonesia”. (hlm.32.) Ewa, begitu namanya di kala bocil, bermimpi. Dan mimpi itu belum selesai. Tidak ada titik. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.