Opini
Opini: Agar Bukan Nusa Titip Taruna
Kalau hanya di NTT, maka apa yang menjadi alasan sehingga NTT begitu mudah ‘diterobosi’ penumpang gelap seperti ini?
Oleh: Robert Bala
Diploma Resolusi Konflik Asia Pasifik Universidad Complutense de Madrid Spanyol. Direktur Akademi Perhotelan Tunas Indonesia (Prodi D4 Manajemen Perhotelan) Tangerang Selatan.
POS-KUPANG.COM - Heboh pengumuman Catar di NTT tentu bukan sekadar viral biasa. Lebih lagi kemudian diikuti demo di Mabes Polri 12 Juli 2024, maka bukan mustahil bisa berujung panjang. Terutama bila ditermukan keanehan saat proses rekrutmen.
Yang jadi pertanyaan, mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah hal itu juga terjadi di daerah lain juga ataukah hanya NTT saja?
Kalau hanya di NTT, maka apa yang menjadi alasan sehingga NTT begitu mudah ‘diterobosi’ penumpang gelap seperti ini?
Terhadap persoalan ini, banyak tulisan yang telah mengarahkan tanggungjawab itu ke Kapolda. Rasanya sudah cukup. Tulisan ini justru mengajak untuk melakukan refleksi, mengapa hal ini bisa terjadi di NTT.
Tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Tetapi pengalaman kecil ini bisa menjadi pintu masuk.
Beberapa bulan sebelum tes taruna, saya pernah ajukan pertanyaan ke abang seorang jenderal polisi Bintang 2 asal NTT. Pertanyaan saya sederhana saja: bagaimana bisa test agar bisa lolos jadi bintara polri.
Sang abang itu melihat saya dengan tatapan aneh. “Mengapa test bintara? Mengapa tidak test perwira?”
Menurutnya setiap tahun, banyak tempat untuk calon perwira tidak diisi dan akhirnya diisi oleh orang lain.
Saya terdiam dan mengingat apa yang disebut budaya ‘nrimo’. Rasanya orang NTT (khususnya saya), dari kecil hanya melihat polisi berpangkat ‘kecil’ dengan balok panah perak (satu, dua, tiga, empat, bahkan balok bergelombang perak (satu dan dua) di lengan.
Karena sejak kecil hanya terlihat seperti itu, maka kita (maksudnya saya) sudah terbiasa untuk membayangkan bahwa pangkat tertinggi seorang polisi ya, hanya sebatas ‘perak’.
Kalau pun kemudian muncul kesadaran akan adanya pangkat lebih dari itu, maka bisa saja terbentuk pemahaman bahwa itu ‘jatah’ orang lain punya.
Dulu saat masih di Hokeng, saya malah mengenal seorang polisi yang kata orang cukup pupuler. Kalau di era sekarang ia bisa saja sangat viral oleh tingkahnya.
Di lengannya terpampang pangkat balok miring merah beberapa kemudian dikurangi. Itu jabatan tamtama yang paling rendah. Tetapi bagi kita (maksudnya saya), yang penting jadi polisi. Mau pangkat apa, itu tidak penting. Yang penting jadi polisi.
Di sinilah bisa jadi awal dan sekaligus menjadi jawaban, mengapa ‘titipan’ dari luar itu begitu mudah menguasai medan NTT’.
Opini: Ketidaktahuan Rasional dalam Rumah Demokrasi |
![]() |
---|
Opini: Urgensi Langkah dan Kebijakan Strategis untuk Akselerasi Pembangunan Daerah |
![]() |
---|
Opini: Manajemen Risiko sebagai Fondasi Kampus Berdampak di Nusa Tenggara Timur |
![]() |
---|
Opini: Demokrasi Kita, Cermin Cara Kita Dididik |
![]() |
---|
Opini - Krisis Etika dan Substansi di Panggung Politik Indonesia |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.