Opini
Opini: Menguji Kelayakan El Asamau jadi Bacawagub NTT 2024
Saya sama sekali belum menjumpainya secara langsung, kecuali melalui media sosial. Tulisan ini pun dibuat tanpa sepengetahuannya.
Oleh: Refael Molina
Sedang Studi Magister Ilmu Komunikasi di Undana,Editor Buku Antologi “Menulis Fakta Menggagas Makna”
POS-KUPANG.COM - Tulisan ini dibuat bukan untuk menyenangkan hati pemilik nama lengkap EliasYohanis Asamau, S.IP., M.P.P yang akrab disapa El Asamau.
Saya sama sekali belum menjumpainya secara langsung, kecuali melalui media sosial. Tulisan ini pun dibuat tanpa sepengetahuannya.
Oleh karena itu, saya ingin mempertegas bahwa tulisan ini bukan merupakan bentuk dukungan terhadap El Asamau.
Tulisan ini hanya merupakan hasil permenungan pribadi, yang ingin diajukan ke ruang publik agar menjadi referensi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT), terutama kepada para Bakal Calon Gubernur (Bacagub) NTT, yang hari-hari ini
tengah ramai menyosialisasikan diri, termasuk mencari Bakal Calon Wakil Gubernur (Bacawagub) ideal untuk bertarung merebut kursi nomor wahid di NTT.
Lantas, mengapa El Asamau? Dia, sosok muda dan populer. Sesederhana itu?
Ya, ini jika kita bicara kepentingan kontestasi politik jangka pendek, karena hari-hari ini para Bacagub sedang gencar mencari pasangan Bacawagub ideal.
Soal jangka panjang, demi kepentingan NTT, maka mari kita uji lebih dalam apakah El Asamau layak atau tidak menjadi Bacawagub NTT 2024?
Untuk menguji pertanyaan di atas, mari kita telisik dengan menggunakan analisis SWOT milik Albert S. Humphrey (1960). Meski teori tersebut dianggap sudah usang dan lazim digunakan dalam penelitian-penelitian ekonomi, terutama strategi pemasaran.
Namun, teori tersebut kini banyak digunakan dalam penelitian di bidang lain, seperti studi pembangunan, pendidikan, komunikasi, politik dan lain-lain.
Salah satu contoh, misalnya dalam tulisan Rusnani dan Bambang Hermanto (2015) tentang “Strategi Caleg dalam Upaya Memenangkan Pemilu Legislatif di Dapil II Kabupaten Sumenep”.
Karena itu, dalam tulisan ini, saya kira metode ini juga tepat untuk menganalisis kekuatan (S=strengths), kelemahan (W=weaknesses), serta peluang (O=opportunities), dan ancaman (T=threats) untuk menguji kelayakan El Asamau menjadi Bacawagub NTT 2024.
Kekuatan
Harus diakui, El Asamau punya seabrek pengalaman mentereng dan segudang prestasi, baik di bidang pendidikan, organisasi maupun ketika menjadi ASN lingkup Kabupaten Alor, yang patut dijadikan sebagai kekuatannya.
Pertama, El Asamau diketahui memiliki pengalaman birokrasi, yaitu sebagai Staf BKD Kabupaten Alor (2009-2010), Kepala Seksi Keamanan dan Ketertiban Kec. Pulau Pura (2013), Lurah Mutiara (2013-2016), dan Staf Bappelitbang Kabupaten Alor (2018-2019). Yang menjadi sorotan adalah, dia berhasil menjadi lurah termuda di Alor, dan barangkali NTT.
Pria kelahiran Maumere 1988 itu lantas dijuluki “lurah sampah” sebelum akhirnya memutuskan untuk pensiun dini dan bekerja sebagai wiraswasta.
Di bidang pendidikan, El berlatar belakang lulusan Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) angkatan 18, dan lulusan Magister (S2) di American University Washington DC, Amerika Serikat, bahkan saat ini dia tengah melanjutkan pendidikan doktoral (S3) di kampus yang sama di negara adi daya.
El Asamau juga diketahui berpengalaman di berbagai organisasi seperti Ketua Matagaruda (organisasi para penerima beasiswa lPDP) NTT 2018-2020, Founder yayasan Dolorganisasi, Founder PKBM Alorinda, Wakil Presiden Perhimpunan Mahasiswa di Washington DC, Amerika Serikat, Pengurus GAMKI Alor, Wakil Ketua Kadin Kabupaten Alor, dan Ketua Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) Kabupaten Alor.
Melalui lembaga Pendidikan Luar Sekolah yang didirikan, misalnya, dia telah membantu pemerintah NTT, khususnya Kabupaten Alor untuk menekan angka putus sekolah. Betapa tidak, diketahui sebanyak 820 warga sudah menamatkan PLS, dan masih tersisa ribuan warga lain yang ingin belajar.
Dalam mempersiapkan anak-anak Alor maupun NTT, dia juga membuka lembaga kursus Bahasa Inggris agar mereka bisa belajar untuk melamar beasiswa. Dengan sederet pengalaman pendidikan, profesional dan birokrat, memberi sinyal bahwa dia memiliki posisi tawar bagi para Bacagub NTT 2024 ini.
Kedua, El adalah representasi rakyat kecil. Kehadirannya bak oase di tengah dahaga dan kerinduan masyarakat yang anti terhadap politik identitas dan politik uang.
Terlepas dari kekalahannya di DPD RI, tidak berarti bahwa dia kalah di hati rakyat yang memilihnya. Dia adalah pemenang di hati pemilihnya. Barangkali El Asamau adalah orang yang paling bahagia dari para politisi yang kalah saat ini.
Sebab, dia kalah dengan kepala tegak. Tentu saja, karena dia berpolitik tanpa “membeli suara” rakyat dan tanpa politik identitas. Dia sadar untuk mewujudkan kebaikan bersama (bonum commune), ia tidak perlu melakukan kejahatan dalam politik melainkan menaklukan kejahatan dengan kebaikan (bono malum superate).
Bagaimanapun presensinya dalam kontestasi DPD RI kemarin telah membawa gagasan dan dialektika politik yang bernas dan elegan. Sebab, segelintir rakyat akhirnya mengubur dalam-dalam alasan memilih karena uang dan identitas.
Rakyat seakan bosan dengan janji-janji manis disertai praktik politik pragmatis, yang dimainkan setiap kali hajatan Pemilu. El Asamau sungguh ada di hati rakyat kecil.
Terbukti, dia berhasil mendulang 265 ribu suara, meski kemudian hanya bertengger di urutan 5 perolehan suara DPD RI.
Ketiga, popularitas El Asamau tak perlu diragukan. Saya kira, jika disandingkan, namanya belum “tenggelam” dan masih bertengger di antara nama-nama populer Bacawagub lainnya.
Hal ini tidak terlepas dari strategi dan komunikasi politik – yang relevan dengan perubahan zaman – yang ia bangun. Kampanye politik di media sosial untuk memenangkan pemilih gen z dan millenial benar-benar terbukti.
Pengikutnya di Grup Facebook, misalnya, sebanyak 40 ribu, belum media sosial lainya. Dia juga adalah calon DPD RI yang sosialisasi tanpa menggunakan baliho atau kartu-kartu nama.
Selain itu, untuk menjangkau pemilih yang belum melek teknologi, khususnya di media sosial, El Asamau diketahui ke kampung-kampung meski hanya bermodal sepeda motor. Dia kemuduan bertemu rakyat di jalan, pasar, rumah, kebuh dan
lainnya. Strategi politik door to door yang dilakukan membuat dia mendapat tempat di hati masyarakat.
Keempat, El Asamau, simbol politik anti primordial. Di Pulau Timor, Flores, Sumba, Sabu bahkan Rote, dia disambut dengan hangat. Tak peduli El Asamau dari suku mana. Di gunung dan pantai pun dia diterima sebagai anak kandung tanah Flobamorata, bukan anak kandung orang Alor atau Maumere – tempat bapak dan mamanya berasal.
Barangkali ini suatu hal yang jarang kita temui sebelumnya. Hemat saya, kehadirannya telah meruntuhkan politik identitas yang laten dimainkan oleh segelintir elit politik ketika hendak mengajak masyarakat untuk menentukan pilihan mereka.
Rakyat yang kerap memilih karena politik identitas nyatanya tidak diberlakukan terhadap sosok El Asamu. Dalam kontestasi DPD RRI kemarin, sesungguhnya dia dipilih oleh masyarakat yang moderat, tulus, setia dan mencintai perubahan.
Kelemahan
Setidaknya, ada dua kelemahan utama seorang El Asamau. Pertama, dia bukan berlatar belakang anggota atau pengurus Parpol. Kondisi ini bagaimana pun sedikit banyak mempengaruhi persaingannya dengan nama-nama Bacawagub lain yang berasal dari Parpol. Hal ini berlaku jika Parpol lebih mengutamakan kader internal, ketimbang dari luar Parpol.
Kedua, berkaca pada pemilihan DPD RI, jika menyebut El Asamau tak punya uang sebagai kelemahannya, saya lebih baik – memilih dengan – menyebut bahwa komitmennya untuk tidak bermain politik uang adalah kelemahannya yang
sesungguhnya. Apakah kemudian saya menganjurkan agar dia bermain politik uang?
Tidak. Barangkali dia punya uang, tapi rasanya dia bukan sosok pragmatis yang suka menipu rakyat dengan cara membeli suara. Buktinya, El Asamau konsisten dengan edukasi-edukasi politik bernas yang dia bangun. Narasi-narasi dan diskursus politik yang dilakukan di jagad maya dan nyata, membuktikan, dia bukan tipikal orang yang suka dengan permainan “serangan fajar” untuk mencari “satu kepala berapa? atau dalam bahasa Jawa “wani piro?”, demi mendulang suara.
Dia tidak mau mengotorkan kesucian demokrasi era reformasi – yang telah diperoleh dari darah bahkan nyawa generasi 98’, media massa dan rakyat.
Pada titik ini, komitmen El Asamau untuk menemukan Parpol yang cocok dengan gagasan “politik bersih” yang diusungnya, pasti akan sulit, jika Parpol masih menilai uang adalah segalanya dalam politik.
Meski dia tak punya modal finansial, tapi realitasnya dia masih memiliki modal sosial yang begitu kuat. Berkat kepopulerannya, misalnya, namanya kini santer dipertimbangkan khalayak untuk jadi tandem Ansy Lema, Emanuel Laka Lena dan nama-nama Bacagub NTT lainnya.
Akankah Parpol atau Bacagub akan mengabaikan modal sosialnya, lantas menjadikan finansial sebagai satu-satunya syarat untuk meminangnya? Kita lihat saja.
Peluang
Dalam politik, semua hal serba dinamis. Peluang bagi El Asamau menjadi Bacawagub masih terbuka. Jika ada Bacagub yang membangun komunikasi politik, harus disambut. Apalagi, jika ada yang meminang, harus diterima. Jika dua
kesempatan di atas tak ada, El Asamau bisa saja membangun komunikasi dengan Parpol atau dengan para Bacagub.
Hemat saya, ini adalah kesempatan baginya untuk menjawab kepercayaan rakyat yang kemarin memilihnya. Sebab, saya kira mayoritas rakyat yang memilihnya masih menaruh harap padanya, termasuk ketika harus bertarung dalam bursa Pilkada NTT. Peluang ini akan pupus jika El Asamau kukuh ingin kembali ke kebun dan urus pendidikan dengan kapasitas yang dimilikinya saat ini.
Ancaman
Ancaman paling nyata mungkin tidak ada, kecuali apakah dia masuk dalam survei-survei internal dan eksternal Parpol atau tidak. Sebab, hingga kini belum ada tanda-tanda atau gerakan calon independen pada Pilgub NTT 2024, kecuali, misalnya oleh Jenderal (Purn) Dharma Pongrekun, yang akan maju di Pilgub DKI Jakarta.
Ancaman lain adalah, ketika disurvei, apakah elektabilitasnya tinggi atau tidak, tergantung hasilnya. Jika elektabilitas rendah, tentu saja Parpol akan berpikir ulang.
Namun, jika elektabilitasnya tinggi, siapa sangka para Bacagub atau Parpol akan berebut meminangnya. Kita tunggu saja.
Kesimpulan
Dengan beberapa penjelasan singkat di atas, maka saya berkesimpulan bahwa El Asamau tidak layak menjadi Cawagub NT, kecuali jika dia tidak mendapat tandem Bacagub yang akan bersamanya melamar di Parpol atau dia tidak masuk dalam daftar survei partai tertentu, dan memiliki elektabilitas rendah, apabila dia disurvei.
Sebaliknya, jika El Asamau mendapat tandem Bacagub, kemudian memiliki elektabilitas tinggi melalui Parpol, tentu dia bisa saja diakomodir untuk maju. Sebab, bagaimana pun dia merupakan representasi kaum muda, kelompok marginal dan masyarakat yang anti politik identitas dan uang.
Apalagi, dia juga dikenal merupakan sosok intelektual muda yang sederhana, tapi punya strategi dan komunikasi politik yang mumpuni, serta punya komitmen menjadikan politik lokal lebih bergairah tanpa praktik politik uang dan politik identitas. (*)
Opini: Prada Lucky dan Tentang Degenerasi Moral Kolektif |
![]() |
---|
Opini: Drama BBM Sabu Raijua, Antrean Panjang Solusi Pendek |
![]() |
---|
Opini: Kala Hoaks Menodai Taman Eden, Antara Bahasa dan Pikiran |
![]() |
---|
Opini: Korupsi K3, Nyawa Pekerja Jadi Taruhan |
![]() |
---|
Opini: FAFO Parenting, Apakah Anak Dibiarkan Merasakan Akibatnya Sendiri? |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.