Pilkada 2024

Respon Pengamat Perihal Putusan MA Soal Usia Cakada 

Ketidakkonsistenan wakil rakyat mengutak-atik aturan pemilihan membuat demokrasi tidak berkembang. 

Penulis: Irfan Hoi | Editor: Rosalina Woso
POS KUPANG.COM/AMBUGA LAMAWURAN
Pengamat Hukum asal Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Jhon Tuba Helan 

Laporan Reporter POS-KUPANG.COM, Irfan Hoi 

POS-KUPANG.COM, KUPANG - Pengamat Hukum Tata Negara, Dr. John Tuba Helan merespons perihal putusan Mahkamah Agung (MA) tentang usia calon kepala daerah (Cakada). 

Pengajar di Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang ini menjelaskan, dalam undang-undang (UU) 10 tahun 2016 tidak disebutkan secara detail mengenai batas minimal Cakada

Adapun Cakada Gubernur dan wakil gubernur berusia paling rendah 30 tahun. Sedangkan untuk bupati, wakil bupati, walikota dan wakil walikota minimal 25 tahun. Frasa kurang jelas ini yang membuat Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengaturnya dalam PKPU, batas usia minimal dihitung sejak penetapan Cakada di KPU. 

Pada gugatan di MA oleh partai Garuda yang dikabulkan, Kamis 30 Mei 2024, pemohon menggugat PKPU 9 tahun 2020 ihwal batas usia Cakada yang dihitung sejak penetapan. Putusan MA, batas usia minimal dihitung sejak pelantikan kepala daerah terpilih. 

Baca juga: KPU Kota Kupang Libatkan Penyandang Disabilitas Jadi Penyelenggara Pilkada 2024

"Memang kita harus mengikuti putusan MA, tapi kalau pelantikan tidak menentu, itu akan menimbulkan persoalan. Kecuali pemilihan kepala daerah itu tidak serentak. Sekarang ini, seluruh Indonesia, 38 Provinsi dan 514 bupati/walikota itu di pilih 27 November 2024," ujarnya, Jumat 31 Mei 2024.

John Tuba Helan menilai, persoalan itu bisa timbul karena masih ada tahapan selanjutnya setalah pemungutan suara. Sehingga, ketetapan pada batas usia minimal Cakada sejak pelantikan berpeluang konflik. 

"Justru dengan putusan MA ini membuat jadi kabur. Bisa jadi pelantikan kepala daerah terpilih itu berbeda-beda waktunya, apalagi sebagian besar daerah saat ini dijabat oleh Penjabat. Sehingga hasil Pilkada serentak ini tidak jelas, kalau ada jadwal yang sudah ada, maka bisa dijadikan patokan," katanya.

Bahkan, dia menilai keberadaan hukum di Indonesia justru tidak dihargai. Ia mengungkit persoalan di Mahkamah Konstitusi (MK) sewaktu Pilpres. Pola itu mirip dengan kejadian yang sekarang diputuskan MA. Apalagi, proses atau tahapan Pemilihan sedang berjalan. 

John Tuba Helan menduga ada kepentingan kelompok tertentu yang memanfaatkan celah pada regulasi yang ada. Mungkin saja, kata dia, kelompok itu memiliki Cakada yang belum genap berusia sesuai amanat UU, sehingga melakukan gugatan ke MA. 

"Ini pasti ada kepentingan partai politik atau calon tertentu, dia mungkin hitung-hitung sesuai jadwal yang dibuat oleh KPU bahwa 22 September 2024 adalah penetapan calon, mungkin saja ada calon yang belum genap berusia 30 atau 25 tahun. Sehingga mereka menggugat ke MA supaya bisa diakomodir," jelas dia. 

Sekalipun putusan MA diterapkan, ia menyarankan agar jadwal pelantikan tetap mengacu ke aturan yang sudah dikeluarkan KPU. Kekeliruan di UU 10 tahun 2016, baginya bias atau multitafsir. Imbas dari itu dirasakan saat ini. 

Dia menyayangkan berbagai macam perundang-undangan Indonesia yang terus mengalami perubahan seiring berganti kekuasaan. Para elit seenaknya mengganti aturan sesuai hasrat dan kepentingannya. 

"Saya melihat pengaturan undang-undang kita di Indonesia tidak memiliki kepastian hukum sehingga itu terus diubah, diganti oleh para elit politik yang duduk di legislatif melakukan pergantian sehingga dari waktu ke waktu mengalami perubahan," kata dia. 

John Tuba Helan menjabarkan, UU Pilkada terbit pertama kali tahun 1999 atau dikenal dengan UU nomor 2 tentang pemerintahan daerah. UU ini mengamanatkan Kepala daerah dipilih oleh DPRD. 

Perubahan terjadi dengan terbitnya UU 32 tahun 2004 dengan kepala daerah dipilih oleh rakyat. 10 tahun kemudian ada perubahan dengan menerbitkan UU 22 tahun 2014. Dalam UU ini, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Namun, aturan ini tidak bertahan setalah Presiden kala itu, Susilo Bambang Yudhoyono menolak dan menerbitkan Perpu. Pemilihan kepala daerah tetap ditangan rakyat. 

Kemudian, Perpu itu diubah ke UU 1 tahun 2015. Setahun berikutnya, terbitlah UU 10 tahun 2016 dengan pemilihan tetap ada di rakyat. 

"Hampir dalam perjalanannya ini mengalami perubahan. Kita tidak tahu ke depan kita bisa mendapatkan berkualitas dan berintegritas itu sangat tergantung juga dengan dasar hukum," tambah dia. 

John Tuba Helan berkata, kualitas dari sebuah demokrasi bisa ditentukan oleh hukum yang berlaku. Ketidakkonsistenan wakil rakyat mengutak-atik aturan pemilihan membuat demokrasi tidak berkembang. 

"Sehingga para elit suka mengutak-atik UU yang sudah diputuskan oleh mereka, kemudian mereka utak-atik lagi dan mengubah, itu yang membuat demokrasi kita tidak akan maju dan berkembang," ujarnya. 

Ia menegaskan kembali agar putusan MA dijalankan, namun jadwal pelantikan kepala daerah terpilih tetap sesuai jadwal dari KPU. Karena, Pilkada serentak, harusnya pelantikan juga dilakukan secara serentak. 

"Harusnya para calon kepala daerah mengikuti aturan yang ada. Jangan dibalik," kata dia. (fan) 

Ikuti Berita POS-KUPANG.COM Lainnya di GOOGLE NEWS

Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved