Opini

Opini: Urgensi Pembelajaran Bahasa Berbasis Etnopedagogi

Pengalaman budaya tentang kemanusiaan tidak lagi menarik untuk digauli. Tidak pentingkah kita kembali ke tanah asal?

|
Editor: Dion DB Putra
DOK PRIBADI
Maria Rosalinda Talan. 

Oleh: Maria Rosalinda Talan
Mahasiswa S3 Pendidikan Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Surabaya

POS-KUPANG.COM -Kemesraan manusia dengan teknologi kian hari kian menyata dan menjadi kemenangan.

Di sisi lain, budaya lokal kian hari kian menjadi kenangan. Kemanusiaan sebagai nadi kebudayaan tidak lagi menjadi hal yang diperjuangkan melalui teknologi.

Pengalaman budaya tentang kemanusiaan tidak lagi menarik untuk digauli. Tidak pentingkah kita kembali ke tanah asal?

Bukan sesuatu hal yang mengejutkan nilai kemanusiaan mulai terkikis gebrakan modernisasi. Narasi pedih tentang terkikisnya karakter peserta didik sepatutnya mendapat perenungan mendalam para pendidik.

Perilaku tidak etis seperti proliferasi berita palsu, penyalahgunaan teknologi untuk penipuan, meningkatnya kecurigaan dan ujaran kebencian, meningkatnya tingkat perilaku kasar dan kekerasan, dan sebagainya sering kita jumpai.

Nilai spiritual dan ajaran agama tidak lagi menjadi pedoman dan daya kontrol dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Sekolah merupakan salah satu wadah pendidikan yang berperan penting membina pengembangan karakter anak bangsa.  Para pendidik seharusnya tidak mengkesampingkan pendidikan adab sebagai dasar pijakan peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan.

Berbagai upaya harus dilakukan seperti halnya pendidik yang selalu menampakan kegelisahan dalam memilih, menentukan, atau mengembangkan pendekatan, model, metode, teknik, media, materi, sumber belajar untuk memperbaiki kualitas pembelajaran yang umumnya hanya menyasar pencapaian kompetensi pengetahuan dan keterampilan.

Fokus pendidikan sikap seharusnya mendapatkan porsi yang seimbang dengan apek pengetahuan dan keterampilan karena pada hakikatnya pendidikan adalah upaya memanusiawikan manusia.

Mengatasi masalah karakter harus diperlakukan sebagai upaya kritis, mengingat hal itu memiliki korelasi langsung dengan aset utama yang penting bagi pembangunan bangsa.

Memanusiawikan Manusia

Konsep etnopedagogi muncul di tengah-tengah kemesraan peserta didik dengan teknologi sebagai upaya mengatasi pengaruh negatif teknologi dengan memasukkan nilai-nilai, pengetahuan, dan praktik budaya lokal ke dalam proses pembelajaran.

Etnopedagogi merupakan pendekatan yang menekankan pentingnya mengintegrasikan kearifan lokal, tradisi, dan pengalaman budaya masyarakat ke dalam praktik pendidikan.

Konsep ini didasarkan pada pemikiran bahwa pendidikan tidak dapat dipisahkan dari konteks sosial dan budaya di mana proses pembelajaran tersebut berlangsung.

Konsep etnopedagogi memiliki akar yang kuat dalam tradisi pendidikan berbagai budaya di seluruh dunia.

Sebelum pendidikan formal menjadi norma, masyarakat telah mengembangkan metode pengajaran yang berakar pada budaya dan tradisi mereka sendiri.

Salah satu contoh awal etnopedagogi dapat ditemukan dalam tradisi pendidikan masyarakat adat di Amerika Utara, anak-anak diajarkan tentang hubungan dengan alam, keterampilan bertahan hidup, seni, dan tradisi leluhur melalui metode seperti cerita rakyat, upacara, dan pengalaman langsung di lingkungan sekitar.

Meskipun etnopedagogi telah dipraktikkan secara luas oleh masyarakat adat di seluruh dunia, konsep ini baru mulai dieksplorasi secara akademis pada abad ke-20.

Para tokoh seperti Paulo Freire, pendidik dari Brasil, mempelopori pendekatan yang berpusat pada pengalaman hidup dan budaya peserta didik.

Etnopedagogi didasarkan pada sejumlah prinsip utama yang membedakannya dari pendekatan pendidikan lainnya.

Prinsip tersebut di antaranya menghargai keberagaman budaya yang memiliki nilai-nilai, pengetahuan, dan praktik yang unik dan berharga; menekankan pentingnya kontekstualitas dalam proses pembelajaran; menekankan pentingnya pembelajaran eksperiential di mana peserta didik tidak hanya mempelajari teori, tetapi juga terlibat dalam
praktik nyata, observasi, dan partisipasi dalam kegiatan budaya yang relevan; memperkuat identitas budaya peserta didik dan membantu mereka menghargai warisan budaya mereka.

Dengan mengintegrasikan pengetahuan dan praktik budaya ke dalam pembelajaran, etnopedagogi membantu peserta didik membangun rasa percaya diri dan harga diri dalam identitas budaya mereka. Prinsip ini bertujuan menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif, relevan, dan bermakna bagi peserta didik dari berbagai latar belakang budaya.

Etnopedagogi, sebagaimana dijelaskan Renée Mauborgne, profesor di INSEAD, Prancis, dalam karyanya “Blue Ocean Strategy” (2005), menekankan pentingnya menegakkan dan menghargai identitas budaya seseorang untuk membangun lingkungan belajar inklusif yang kondusif untuk pengembangan holistik setiap individu. Konsep ini menggarisbawahi peran mendasar budaya.

Diakui secara luas bahwa budaya yang beragam mencakup permadani adat istiadat yang kaya yang terkait dengan prinsip-prinsip yang dipegang secara mendalam.

Etnopedagogi mengacu pada kearifan lokal sebagai seperangkat keterampilan, kecakapan khusus yang diaplikasikan serta diberdayakan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat serta mendorong inovasi.

Kearifan lokal memuat konsep-konsep lokal yang bijaksana, tertanam dalam etos masyarakat, menekankan perlunya pelestarian untuk masyarakat yang harmonis dan makmur.

Pembelajaran Bahasa berbasis Etnopedagogi

Pembelajaran berbasis budaya dapat dibedakan menjadi belajar tentang budaya, belajar dengan budaya, dan belajar melalui budaya.

Pernyataan ini dapat dimaknai sebagai peringatan keras bahwa tidak ada alasan bagi pendidik untuk tidak memasukan aspek kebudayaan dalam pembelajaran, misalnya alasan tidak ada keterhubungan mata pelajaran dengan budaya.

Etnopedagogi dapat diterapkan pada setiap mata pelajaran termasuk mata pelajaran bahasa dengan cara belajar ‘dengan’ budaya atau belajar ‘melalui’ budaya.

Misalnya, dalam pembelajaran bahasa yang dikemas dalam pembelajaran yang berbasis teks atau pedagogi gendre dapat dimanfaatkan pendidik untuk mengintegrasikan aspek sosial budaya peserta didik.

Tahap pedagogi gendre yang kita ketahui meliputi membangun konteks, pemodelan teks, menyusun teks secara bersama, dan menyusun teks secara mandiri.

Pada tahap membangun konteks, pendidik dapat membangun pengetahuan atau pengalaman peserta didik di lingkungan sosial budayanya dan mengaitkannya dengan materi pelajaran.

Pada tahap pemodelan teks, pendidik dapat menyajikan contoh teks yang berisi kondisi sosial budaya peserta didik yang sarat akan nilai kearifan lokal.

Pada tahap menyusun teks secara bersama dan mandiri, pendidik dapat menginstruksikan peserta didik untuk memproduksi teks yang diangkat dari kondisi sosial budanya peserta didik.

Proses integrasi ini merupakan wujud nyata pendidik dalam upaya pendidikan karakter maupun mewujudkan rekomendasi pemerintah tentang kontekstualisasi pembelajaran.

Pembelajaran yang kontekstual telah banyak terbukti secara empirik dapat membantu peserta didik mencapai kompetensi mata pelajaran.

Ibarat pepatah sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, etnopedagogi pun dapat diyakini dapat memberikan kontribusi positif dalam mencapai kompetensi sikap, pengetahuan, dan ketereampilan sekaligus bagi peserta didik.

Pernyataan itu bukan tanpa dasar. Sebut saja penelitian Salmani Nodoushan (2008) di Iran yang mengeksplorasi penggunaan pendekatan etnopedagogi dalam pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing.

Dengan mengintegrasikan cerita rakyat, peribahasa, dan konteks budaya lokal ke dalam materi pembelajaran, peserta didik menunjukkan peningkatan dalam motivasi, partisipasi, dan pemahaman materi.

Di bidang sastra, etnopedagogi telah digunakan untuk mengajarkan karya-karya sastra dengan cara yang bermakna dan terkait dengan konteks budaya peserta didik.

Contoh di Amerika Serikat, pendekatan etnopedagogi digunakan dalam pembelajaran puisi untuk membantu peserta didik memahami dan menghargai puisi dari berbagai tradisi budaya (Holbrook & Kolbusz-Kosan, 2020).

Media Digital Hanyalah Fasilitas

Tidak dapat dipungkiri bahwa peserta didik masa kini sangat dekat dengan media digital. Menghadirkan media digital dalam pembelajaran terbukti membangkitkan semangat belajar peserta didik.

Berbagai riset telah membuktikan integrasi media digital dalam pembelajaran dapat menciptakan pembelajaran yang menyenangkan, peserta didik lebih termotivasi dalam belajar, menunjukan sikap antusias/aktif sehingga berdampak pada hasil belajar yang sesuai harapan.

Misalnya multimedia digital seperti media audio video, gambar animasi, media canva, media sosial, internet, media game dan lainnya dapat dimanfaatkan sebagai media yang turut membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran tertentu.

Meskipun demikian, media digital yang dipilih tidak boleh mengarahkan kepada pencapaian kompetensi tertentu saja seperti pengetahuan dan keterampilan. Pemilihan media digital harus didasarkan pada proses uji kelayakan dengan mempertimbangkan pencapaian kompetensi sikap pula.

Jangan sampai, media digital salah satunya seperti fitur artificial intelligence (kecerdasan buatan) dimanfaatkan secara tidak bijaksana dalam pembelajaran menulis teks. Ini sekadar peringatan agar tidak menyimpang dari upaya pendidikan karakter.

Filter afektif harus difungsikan secara baik. Jangan biarkan nilai kemanusiaan tersudut melalui teknologi. Dengan demikian, media digital yang dipilih perlu dipertimbangkan dan dimanfaatkan secara bijaksana.

Pada intinya kita seharusnya memiliki kesadaran dan kebahagiaan berpijak pada bumi sendiri dengan tetap membuka peluang bergaul dengan aspek di luar itu secara bijaksana. (*)

Sumber: Pos Kupang
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved