Opini

Opini: Menyembuhkan Virus Sarkasme Politik NTT Menjelang Pilkada

Pemilihan kepala daerah serentak pun telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa akan berlangsung pada tanggal 27 November 2024.

|
Editor: Dion DB Putra
PROKAL
Ilustrasi Pilkada 2024. Kursi kepala daerah dan wakil kepala daerah menjadi rebutan. 

Pilkada NTT dan wajah baru politik

Partai politik mulai menjaring tokoh-tokoh untuk dicalonkan menjadi bupati-wakil bupati, walikota-wakil walikota, gubernur-wakil gubernur di tengah tensi politik nasional yang masih terasa dengan keputusan Mahkama Konstitusi yang menyatakan bahwa paslon nomor urut dua sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia periode 2024-2029.

Tensi serupa kini terasa di NTT terutama partai-partai yang telah memiliki kursi di parlemen, sehingga menjadi kendaraan untuk meraup suara dalam meraih kursi kepala daerah.

Tampilnya wajah-wajah baru dalam perebutan kursi gubernur menjadi tanda bahwa NTT membutuhkan pemimpin baru yang mempunyai visi dan misi untuk membangun daerah bukan pemimpin yang hanya pandai berorasi dan hanya tinggal narasi tanpa aksi.

Oleh sebap itu sebagai warga negara harus jeli dan teliti dalam menjatuhkan pilihan kepada figur yang akan menjadi pemimpin.

Berkaca dari pengalaman pilkada sebelumnya maka kita harus mewaspadai
calon pemimpin yang hanya pandai membuat janji manis namun ternyata pelaksanaannya berbau amis.

Dengan demikian kita diharapkan untuk selalu berhati-hati dalam menentukan pilihan sambil melihat jejak digital dan juga rekam jejak pemimpin yang lalu agar tidak jatuh kesalahan yang sama.

Jejak digital ini gatal, dan membantu kita agar tidak gagal dalam memilih calon-calon pemimpin di Provinsi NTT. NTT membutuhkan pemimpin berkompeten dan bukan yang termpramen, pemimpin humanis bukan pengumbar janji manis dan pemimpin solutif bukan polutif.

Virus Zoon Politicon vs Virus Sarkasme Politik (di) NTT

Jika kita mengikuti standar Aristoteles tentang politik, maka semua orang bisa berpartisipasi dalam kehidupan demokrasi di NTT tanpa melihat lebel suku, ras, agama (SARA) dan gereja yang dianut.

Memang, pada awalnya peran partai politik cukup berpengaruh namun Ketika terjadi dua putaran dalam pilkada gubernur dan wakil gubernur, agamalah yang pertama-tama menjadi tolok ukur memilih gubernur dan wakil gubernur.

Selain adanya sentimen suku, ras, agama dalam pikada NTT, ada juga sarkasme politik yang biasa dibungkus dengan politik uang.

Politik jenis ini kerap kali kita jumpai di akar rumput di mana orang-orang miskin diperalat dengan sejumlah uang agar suara mereka bisa didulang.

Politik sarkasme ini merupakan bentuk baru dari politik busuk, politik ‘putar balik’ dan polusi demokrasi.

Berkaca dari pemilihan legislatif yang telah berlalu tidak sedikit caleg yang memboncengi sarkas politik untuk bisa meraih kursi di parlemen.

Halaman
123
Sumber: Pos Kupang
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved