Berita Nasional
RUU Mahkamah Konstitusi Intervensi Kebebasan Hakim
Menko Polhukam Hadi Tjahjanto mengatakan pemerintah menerima hasil pembahasan RUU Mahkamah Konstitusi.
Menurutnya putusan tersebut terkait dengan uji materiil UU MK menyangkut syarat usia minimal hakim MK.
Baca juga: Romo Magnis dan Kotbah Paskah di Mahkamah Konstitusi
Mahfud menjelaskan salah satu pertimbangan MK dalam putusan tersebut pada intinya menyatakan apabila terjadi perubahan undang-undang, maka tidak boleh merugikan subjek yang menjadi adresat dari substansi perubahan undang-undang itu.
“Kalau diberlakukan terhadap jabatan itu harus yang menguntungkan atau sekurang-kurangnya tidak merugikan subjek yang bersangkutan. Kalau kita ikuti yang diusulkan oleh DPR, itu berarti itu akan merugikan subjek yang sekarang sedang menjadi hakim. Sehingga kita pada waktu itu tidak menyetujui,” kata Mahfud.
Dia juga mengatakan telah melaporkan soal aturan peralihan dalam revisi UU MK tersebut kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana di sela-sela KTT ASEAN pada 4 September 2023 lalu.
“Itu saya sudah melapor ke presiden, ‘Pak, masalah perubahan undang-undang MK, yang lain-lain sudah selesai tapi aturan peralihan tentang usia kami belum clear dan kami akan bertahan agar tidak merugikan hakim yang sudah ada’. Nah jabatan baru ini yang baru masuk. ‘Pak Menko silahkan’. Nah itu tanggal 4 sore. Di situ ada Menseskab, ada menteri lain juga di situ,” kata Mahfud.
Lebih lanjut, Mahfud MD menilai Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) aneh.
Dia berpendapat revisi terhadap UU MK tersebut berpotensi mengganggu independensi hakim, khususnya yang terkait dengan aturan peralihan.
“Itu juga sebabnya saya menolak, ini mengganggu independensi. Kenapa? Orang ini secara halus ditakut-takuti, kamu ini diganti loh, dikonfirmasi, tanggal sekian dijawab tidak, berhenti, habis kamu sebagai hakim. Jadi, independensinya sudah mulai disandera, menurut saya,” kata Mahfud.
Mahfud menilai UU itu sekalipun bagus tidak boleh berlaku untuk hakim-hakim yang sekarang masih bertugas.
Menurutnya mereka seharusnya dibiarkan menjalankan tugasnya sampai habis masa jabatannya.
Setelah itu, lanjut dia, baru dilakukan penggantian.
Ternyata, kata dia, saat itu DPR tidak mau karena mereka ingin hakim-hakim langsung diganti.
“DPR tidak mau, pokoknya langsung, begitu UU ditetapkan hakim yang tidak yang belum 10 tahun tapi sudah di atas lima tahun dikonfirmasi lagi. Wah, saya bilang ini tidak benar, dalam ilmu hukum ini keliru saya bilang. Akhirnya apa? Dead lock-kan saja saya bilang. Maka dead lock, selama saya jadi Menko,” kata Mahfud.
Dia merasa, RUU MK yang diusulkan bisa menakut-nakuti hakim MK yang kini ada, ditambah saat itu sudah mendekati kontestasi politik pemilihan umum.
Baca juga: Mahkamah Konstitusi Berpeluang Batalkan Kemenangan Prabowo-Gibran
Meski begitu, Mahfud mengatakan, tidak bisa menghalangi siapa-siapa yang kini menginginkan revisi terhadap UU MK dilakukan.
“Sekarang sesudah saya pergi tiba-tiba disahkan, ya saya tidak bisa menghalangi siapa-siapa. Tapi itu ceritanya, saya pernah dead lock-kan UU itu, sekarang disahkan. Isinya tetap, seperti yang saya tolak itu, tapi menurut saya ya, ya sudah saya tidak bisa menghalangi,” kata dia.
Mahfud mengungkapkan beberapa kemungkinan sikap yang akan diambil pemerintah soal ini.
Pertama, kata dia, pemerintah meminta Ketua MK mengirim surat meminta konfirmasi hakim-hakim yang diperpanjang.
Kedua, lanjut dia, membiarkan saja hakim-hakim yang mendekati pensiun menyelesaikan masa jabatan.
Namun, Ketua MK periode 2008 sampai 2013 itu merasa, revisi UU MK itu Cuma merupakan langkah memuluskan jalan politik pihak-pihak tertentu.
Apalagi, kata dia, beberapa waktu terakhir orang sudah banyak membahas tentang desentralisasi yang dilakukan secara diam-diam dan secara halus.
“Akhirnya semua ada di satu tangan, nanti ada re-calling, independensinya dibatasi. Salah satunya recall saja, minta konfirmasi saja, tapi yang lebih keras lagi, sebelum dibahas, ada di RUU, bahwa DPR bisa atau lembaga yang mengusulkan bisa menarik, itu re-calling yang asal, ini tidak, diminta konfirmasi bukan ditarik,” kata Mahfud.
Dia mengingatkan, mantan-mantan Ketua MK dan hakim MK juga sudah pernah bertemu untuk membahasnya.
Mahfud mengatakan, tokoh-tokoh seperti Jimly Asshiddiqie, dirinya, Hamdan Zoelva, Haryono dan lainnya sepakat independensi hakim tidak boleh diganggu.
Akhirnya, lanjut Mahfud, ide-ide yang coba dimunculkan untuk menarik hakim di tengah jalan melalui revisi terhadap UU MK itu dihapus.
Namun, kini dimunculkan lagi rencana yang dirasa bisa mengganggu independensi hakim seperti re-konfirmasi setelah masuki tahun kelima.
“Hadir semua waktu itu, terus yang dari Malang hadir, ini tidak boleh begini, harus ada independensi, sehingga ide untuk menarik hakim di tengah jalan hapus, tapi yang muncul kemudian lima tahun di-re-konfirmasi,” kata dia.
Mahfud mengaku tidak sepakat jika legal drafter yang kemudian disalahkan karena mereka berada di tataran yang sangat teknis dan bukan memiliki kewenangan pada filosofi materi.
Artinya, lanjut dia, mereka yang memiliki filosofi materi dan memiliki hak konstitusional untuk menentukan tetap hanya Presiden dan DPR RI.
“Ini lebih kepada kolaborasi banyak aktor yang sama-sama punya keinginan tertentu yang bisa dicapai kalau berkolaborasi. Misalnya, membuat UU harus begini, ini dapat ini, itu dapat itu, itu sudah biasa, oleh sebab itu kita sekarang sering berteriak tentang moral dan etik,” jata Mahfud.
Mahfud juga khawatir potensi hakim bisa jadi proxy dari lembaga-lembaga jika revisi UU MK disahkan.
Baca juga: MK Sidangkan 297 Gugatan Pileg, Target Rampung 10 Juni
Namun, ia mengingatkan, keputusan tetap ada di Presiden dan DPR RI karena bisa saja disahkan dengan alasan-alasan yang baik.
“Tetap keputusan kan mereka yang memutuskan, biar hakim tidak seenaknya, bisa juga alasannya begitu. Bisa benar, tinggal alasannya apa, bisa saja dan itu masuk akal, tapi menurut saya masalahnya bukan itu, masalahnya akan bisa dikendalikan, itulah yang saya katakan independensi,” jelas Mahfud.
MK Enggan Menanggapi
Mahkamah Konstitusi (MK) enggan menanggapi soal pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi oleh DPR.
Hal ini terkait Komisi III DPR yang menggelar rapat kerja dengan Menko Polhukam Hadi Tjahjanto dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, pada Senin (13/5).
Dalam rapat tersebut telah disepakati, bahwa Rancangan Undang-Undang keempat UU Mahkamah Konstitusi (RUU MK) akan dibawa ke Sidang Paripurna untuk disetujui dan disahkan menjadi UU.
Adapun rapat kerja tersebut digelar secara tertutup dan tidak dihadiri perwakilan semua fraksi partai politik di Komisi III DPR.
Juru Bicara MK Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, peradilan konstitusi itu tidak boleh berpendapat apapun terkait hal tersebut.
“Maaf MK tidak boleh berpendapat terhadap UU yang sedang dibuat DPR,” kata Enny.
Enny menjelaskan, MK baru bisa berpendapat jika diminta memberi masukan secara kelembagaan.
“Kecuali jika MK secara kelembagaan diminta memberi masukan, pasti akan menyampaikan beberapa hal yang dinilai penting untuk penguatan isu konstitusionalisme, misalnya terkait dengan constitutional complaint, dan lain-lain,” jelasnya.
Sementara itu, Juru Bicara MK Fajar Laksono juga menyampaikan hal senada. Menurutnya, hal tersebut merupakan wewenang pembentuk UU.
Fajar juga menuturkan, saat ini, MK tengah fokus menangani perkara demi perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Legislatif 2024.
“Saya enggak komen, ya. Itu wewenang pembentuk UU. MK sedang fokus tuntaskan perkara PHPU 2024,” jelasnya.
Sementara, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) periode 2003-2020, I Dewa Gede Palguna menyoroti rencana perubahan keempat Undang-Undang MK yang hanya menyasar terkait aturan syarat usia dan masa jabatan hakim.
Palguna menilai, tiga kali perubahan yang terjadi pada UU MK nyatanya tidak berdampak positif terhadap cita-cita untuk mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang merdeka dan independen.
“Apa sih signifikansinya soal ini terhadap keinginan kita atau cita-cita kita untuk mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang merdeka dan independen? Kalau saya jawab jujur, sama sekali enggak ada,” tegas Palguna, Kamis (16/5).
Lebih lanjut, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) itu menyebut, hal-hal yang sekiranya lebih penting untuk diatur dalam perubahan keempat UU MK. Misalnya, penyempurnaan ketentuan hukum acara.
“Melengkapi ketentuan hukum acara di UU MK. Hukum acara untuk apa? Salah satunya adalah tentang pemilihan calon presiden. Itu sampai saat ini masih diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Kemudian, ketentuan terkait pelaksanaan kewenangan pembubaran partai politik, yang hingga saat ini masih diatur dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK).
“Kalau soal-soal macam ini menurut ilmu perundang-undangan adalah materi muatan undang-undang, bukan materi Peraturan MK. Mengapa bukan soal ini yang diselesaikan kalau hendak menghadirkan MK sebagai peradilan yang berwibawa dan benar-benar merdeka?” tutur Palguna.
Selanjutnya, menurut mantan hakim MK itu, perlu juga diatur dalam UU MK soal ketentuan bagi pihak berperkara di peradilan umum untuk mengujikan pasal yang dijerat terhadapnya ke Mahkamah Konstitusi.
“Sudah ada warga negara yang dirugikan oleh norma UU yang bertentangan dengan UUD sudah bisa membawa ke MK sekaligus mengujinya,” kata Palguna.
“Tapi bagaimana kalau misalnya ada orang yg ketika diadili di peradilan umum misalnya, baru menyadari bahwa norma UU yang dijadikan dasar mengadili dia itu ternyata bertentangan dengan UUD. Dia baru menyadari, sementara itu belum sempat diuji di MK,” sambungnya.
Dia menjelaskan, bahwa pengadilan di Jerman memungkinkan seseorang yang tengah diadili untuk mengajukan keberatan kepada hakim yang mengadili dengan alasan bahwa UU yang ditujukan kepadanya itu bertentangan dengan UUD.
Lanjutnya, oleh karena hakim peradilan biasa tidak memiliki kewenangan untuk menguji UU yang didalilkan bertentangan dengan UUD itu, maka ia akan menanyakan kepada Mahkamah Konstitusi Jerman terlebih dahulu.
“Sehingga, ketika kasus ini masih ditangani oleh MK Jerman, maka perkara ini stay dulu, enggak boleh diteruskan. Nanti kalau MK Jerman sudah mengeluarkan putusan ‘oh ini tidak bertentangan dengan UUD’, baru kemudian perkaranya dibuka lagi diperiksa lagi. Kalau memang itu dinyatakan benar bertentangan dengan UUD, maka perkaranya otomatis gugur,” kata Palguna.
Menurutnya, hal-hal demikian yang justru perlu diatur lewat perubahan UU MK untuk menambah perlindungan kepada warga negara.
“Tetapi itu juga yang tidak dilakukan oleh pembentuk UU. Padahal nyata-nyata kalau ingin menguatkan MK sebagai pengawal konstitusi,” ujarnya.
Intervensi Kebebasan Hakim MK
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menilai revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) berpotensi mengintervensi kebebasan hakim MK.
Padahal, Bivitri mengatakan, kemandirian kekuasaan kehakiman dijamin melalui UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman. Ia menjelaskan, salah satu turunan konkret dari kekuasaan kehakiman, yaitu harus adanya kepastian masa jabatan hakim.
“Hakim untuk menjaga independensinya enggak boleh waktu dia mau memutus, enggak boleh dia dibuat untuk punya pikiran, ‘kalau saya memutusnya kayak gini, saya bakalan enggak dapet jabatan saya lagi pada periode berikutnya, enggak ya?’ Nah kira-kira dalam baha sehari-harinya kaya gitu tuh,” ucap Bivitri.
Namun demikian, melihat sejumlah aturan yang tercantum dalam naskah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2023 (RUU MK), Bivitri mengkhawatirkan, intervensi kekuasaan kehakiman akan terjadi. Terutama pada Pasal 23A terkait aturan pemberhentian hakim.
“Nanti kita bisa bayangkan si hakim jadi akan mikir, ‘aduh kalo saya ngebatalin kebanyakan undang-undang nih nanti saya enggak dikonfirmasi lagi untuk 5 tahun yang kedua’. Nah itu intervensi,” kata Bivitri.
“Itu yang haram sekali hukumnya dalam konteks kekuasaan kehakiman,” tutur akademisi Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu.
Selain itu, Bivitri juga mengkritisi terkait aturan evaluasi hakim MK oleh lembaga pengusulnya.
“Dan yang harus kita kritik juga tuh hakim yang dipilih oleh presiden, DPR dan juga MA, itu bukan perwakilannya. DPR, makanya dia enggak boleh dievaluasi lagi oleh DPR. Dia dipilih sudah. Berhenti,” ucapnya.
Menurutnya, begitu hakim MK dipilih oleh lembaga pengusulnya, hakim yang bersangkutan tidak serta merta mewakili suara lembaga pengusulnya tersebut.
“Konsep jabatan, terutama jabatan hakim itu bukan perwakilan. Nah, jadi logika itu enggak bisa dipake tuh untuk menjustifikasi si masing-masing lembaga itu mengevaluasi hakim-hakim yang sudah mereka pilih. Konsepnya bukan perwakilan soalnya, gitu,” tegas Bivitri.
Sedangkan, ahli hukum tata negara Universitas Andalas Charles Simabura buka suara mengenai pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) oleh DPR.
Charles menilai, revisi UU MK dilakukan untuk melumpuhkan peradilan konstitusi itu. Dia menduga, hal ini disiapkan untuk memastikan pemerintahan mendatang.
“Artinya memang revisi ini dalam rangka untuk melumpuhkan. Apa yang dilakukan itu memastikan pemerintahan Prabowo-Gibran dan DPR bisa mengendalikan semua lembaga,” kata Charles.
Dia juga mengatakan, rentetan isu yang muncul menjelang transisi pemerintahan ini tampak mengarah ke era yang menolak mekanisme check and balances. Misalnya seperti, soal penambahan jumlah kementerian dan revisi UU MK yang tengah ramai diperbincangkan publik Tanah Air, saat ini.
“Menuju ke era yang menolak check and balances ya, saya pikir. Bagaimana kemudian koalisi diperbesar sedemikian rupa, MK dianggap sebagai ancaman terhadap produk legislasi mereka,” jelasnya.
Melalui revisi UU MK, menurut Charles, ada upaya pemerintah untuk mematikan lembaga peradilan sebagai garda terakhir untuk menjaga prinsip negara hukum.
“Salah satu independensi MK itu adalah independensi hakimnya. Agar tidak diganggu, baik itu terkait dengan keamanan pribadinya dan jaminan atas kesejahteraan, termasuk jaminan atas masa jabatannya dia,” jelas Charles.
Dia menilai, hal ini mengganggu kerja MK. Terlebih, saat ini masih bergulir persidangan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Legislatif.
“Perilaku ini menunjukkan DPR yang menjadi kebiasaan setiap akhir masa jabatan mereka meninggalkan legacy yang buruk,” ungkapnya.
Selain itu, Charles juga menyoroti rapat kerja Komisi III DPR bersama Menko Polhukam Hadi Tjahjanto dan Menkumham Yasonna Laoly (diwakilkan), yang digelar pada Senin (13/5) atau masa reses DPR.
Menurutnya, meski sesuai tata tertib, soal rapat kerja DPR di masa reses itu menjadikan tidak terpenuhinya konsep meaningfull participation atau partisipasi yang bermakna dalam proses pembentukan undang-undang, sebagaimana diamanatkan putusan MK.
“Makanya saya pikir kita butuh juga putusan MK yang lebih menegaskan lagi di dalam uji formil,” katanya.
Berikut RUU MK pasal 23A yang menjadi sorotan dan diduga bakal melemahkan Hakim MK:
Pasal 23A
(1) Masa jabatan hakim komstitusi selama 10 tahun.
(2) Hakim konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah 5 tahun menjabat wajib dikembalikan kepada lembaga pengusul yang berwenang untuk mendapatkan persetujuan atau tidak mendapat persetujuan untuk melanjutkan jabatannya.
(3)Hakim konstitusi dapat melanjutkan jabatannya 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan:
a. Masih memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2):
b. Belum berusia 70 (tujuh puluh tahun): dan
c. Mendapatkan persetujuan dari lembaga pengusul yang berwenang.
4) Dalam hal lembaga pengusul yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) tidak memberikan persetujuan kepada hakim konstitusi yang bersangkutan untuk melanjutkan jabatannya, lembaga pengusul yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi baru sesuai dengan ketentuan Pasal 18 sampai dengan Pasai 21. (tribun network/yuda)
Ikuti berita POS-KUPANG.COM di GOOGLE NEWS
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.