Opini
Opini: Meneropong Pendidikan yang Ideal
Manusia memiliki naluri untuk melihat fenomena, menganalisis persoalan, membaca peluang, dan menciptakan solusi.
Oleh: Mario Djegho
Warga Penfui Timur, Kabupaten Kupang
POS-KUPANG.COM - Sejatinya manusia adalah makhluk yang senantiasa belajar. Sejak dulu, manusia selalu belajar untuk memahami dirinya beserta lingkungan sekitar agar bisa bertahan hidup.
Manusia memiliki naluri untuk melihat fenomena, menganalisis persoalan, membaca peluang, dan menciptakan solusi.
Dengan proses belajar yang terjadi secara terus menerus, manusia bisa memperoleh pengetahuan, menciptakan inovasi, dan bahkan membentuk komunitas atau kelompok.
Seiring berjalannya waktu, manusia mulai menciptakan sistem kebudayaan hingga merancang peradaban yang menjadi bagian penting dalam setiap catatan sejarah.
Proses panjang dalam sejarah tersebut tentu berimbas pada pengembangan diri.
Manusia selalu meningkatkan kapasitas dirinya, baik secara kognitif, afektif, konatif, maupun sosial, guna menyelaraskan hidup dengan perkembangan zaman.
Setiap manusia memiliki tingkat kapasitasnya masing-masing dalam memaknai realitas di setiap perkembangan zaman. Perbedaan kapasitas tersebut mendorong setiap individu untuk terus belajar.
Usaha untuk meningkatkan kapasitas diri melalui proses belajar itu kemudian diartikan sebagai pendidikan.
Dalam buku “Pengantar Pendidikan” karya Ahmadi (2014), Mudyahardjo
mengartikan pendidikan dalam dua definisi, yakni pendidikan secara luas dan sempit.
Secara luas, pendidikan bisa diartikan sebagai pengalaman hidup manusia. Sebagaimana uraian sebelumnya, manusia selalu melakukan proses belajar sebagai upaya untuk bertahan hidup seiring dengan perkembangan zaman.
Dengan kata lain, selama proses belajar tersebut, manusia telah mengejawantahkan esensi pendidikan. Hal itu sering dipandang sebagai bagian dari kegiatan belajar sepanjang hayat (long life education).
Sedangkan secara sempit, pendidikan diartikan sebagai wadah terbatas yang direkayasa untuk mencapai tujuan tertentu melalui proses belajar.
Pada titik ini, pendidikan bisa dilihat sebagai suatu sistem besar yang
disusun secara teratur, runtut, dan berkepentingan. Salah satu bentuk nyata dari sistem tersebut adalah sekolah sebagai tempat belajar.
Imajinasi Dunia Pendidikan yang Ideal
Pendidikan merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Pendidikan menjadi karpet merah yang bisa mengantar suatu bangsa menuju pintu gerbang kemajuan. Tanpa pendidikan yang layak, sebuah bangsa akan tertinggal di setiap era peradaban.
Hal itu dapat dilihat dari kualitas sumber daya manusia suatu bangsa, apakah patut disematkan pada setiap kompetisi global ataukah hanya terlena pada sisi yang pasif.
Untuk itu, di setiap negara, pendidikan dirumuskan dengan paradigma yang berbeda dan sesuai dengan kepentingan jangka panjang.
Mengimajinasikan suatu dunia pendidikan yang ideal tentu menjadi hal ihwal yang harus dilakukan setiap negara, termasuk Indonesia.
Pendidikan dipandang sebagai aspek fundamental dan strategis, sehingga harus diprioritas di setiap program pembangunan.
Sejak awal berdirinya, Indonesia selalu memperbaharui semua indikator pencapaian pendidikan yang berkualitas, baik dari segi regulasi, kurikulum, kualitas pendidik, dan lain-lain.
Semua itu dilakukan demi terciptanya sistem pendidikan yang kontekstual dan berimbas pada peningkatan mutu. Catatan pendidikan di Indonesia selalu menekankan pengimplementasian konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Sebagai Bapak Pendidikan Indonesia, ia tentu berkontribusi besar dalam dunia pendidikan.
Salah satu pemikirannya yang selalu menjadi barometer kemajuan pendidikan di Indonesia adalah bagaimana pendidikan bisa memerdekakan individu atau bahkan suatu generasi.
Pendidikan harus bisa membuat seseorang atau peserta didik mengenal, mengeksplorasi, dan mengekspresikan potensinya secara maksimal hingga mandiri dengan dunianya.
Dengan begitu, sumber daya manusia dapat terus bertumbuh, berkembang, dan menciptakan inovasi yang bersumber dari kreativitasnya.
Benturan Sistem Pendidikan yang Dominatif
Dewasa ini, pendidikan masih berkutat pada definisi yang sangat praktis, di mana kekuatan sekolah sebagai wadah belajar formal sangat berpengaruh pada kemajuan pendidikan.
Di dalam sekolah, pendidikan diterjemahkan ke dalam proses pembelajaran yang melibatkan guru dan peserta didik.
Proses pembelajaran yang dilakukan tentu dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang diciptakan demi mewujudkan tujuan besar negara, termasuk menyambut generasi emas yang digadang-gadang akan hadir di masa mendatang.
Namun, yang menjadi tanda tanya adalah sudahkah pendidikan yang ideal tercipta di setiap proses pembelajaran.
Paulo Freire, seorang tokoh pendidikan, membagi gambaran sistem pendidikan ke dalam dua (2) bentuk, yakni sistem pendidikan yang dominatif dan humanis.
Menurut Freire, dalam sistem pendidikan yang dominatif, guru sebagai pendidik menjadi pusat dari segalanya. Guru dipandang sebagai referensi belajar tunggal, sehingga dapat mempengaruhi kesadaran peserta didik.
Dominasi tersebut tentu menciptakan sekat antara guru dan peserta didik, seolah berada pada posisi subjek dan objek.
Sedangkan, sistem pendidikan yang humanis, jelas Freire, lebih membuka ruang eksplorasi yang luas kepada peserta didik untuk mengenal dirinya dan memahami lingkungan sekitarnya secara kritis. Di sini, dominasi antara subjek dan objek diruntuhkan melalui ruang-ruang pendidikan yang humanis.
Saat ini, sistem pendidikan yang dominatif tentu masih berlangsung pada beberapa kondisi. Pembelajaran yang berpusat pada guru masih menjadi perbincangan menarik di seputar dunia pendidikan.
Kekacauan sistem, lemahnya kultur yang positif, dan minimnya sumber daya manusia kerap menjadikan sistem pendidikan yang dominatif sebagai kewajaran yang dilegitimasi.
Secara perlahan, tanpa disadari, upaya peningkatan mutu pendidikan menjadi terhambat akibat tidak adanya input yang berkualitas dan proses pembelajaran yang baik.
Membangun Ruang Pendidikan yang Humanis
Untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan dari benturan sistem pendidikan yang dominatif, maka dibutuhkan kerja ekstra dalam membangun ruang-ruang pendidikan yang humanis.
Ruang-ruang pendidikan yang humanis mengacu pada kondisi pembelajaran yang inklusif, eksploratif, dan kreatif.
Di dalamnya, peserta didik dapat menjadi dirinya sendiri, mengembangkan potensinya tanpa rasa takut, mengekspresikan dirinya tanpa tekanan, serta berkreasi dengan bebas dan bertanggung jawab.
Setiap ruang pendidikan sudah seharusnya dimodifikasi menjadi tempat belajar yang memerdekakan dan memberdayakan.
Dalam membangun ruang-ruang pendidikan yang humanis, terdapat tiga (3) poin utama yang harus diperhatikan dan dioptimalkan, yakni manajemen pendidikan, kultur positif, dan sumber daya manusia.
Pertama, manajemen pendidikan harus bisa mengelola perencanaan pembelajaran, masukan (input) pendidikan yang berkualitas, pengawasan proses pendidikan, dan pengukuran ketercapaian hasil pembelajaran.
Kedua, kultur positif harus terus dikuatkan dalam proses pendidikan. Kultur positif harus menjadi iklim yang menjiwai setiap kegiatan belajar dan mengajar.
Untuk membangun kultur positif, pendidik dan peserta didik harus membuka ruang komunikasi. Komunikasi tersebut akan melahirkan interaksi yang timbal balik dalam proses transfer ilmu.
Ketiga, sumber daya manusia berperan penting dalam menggerakkan manajemen dan kultur pendidikan yang diharapkan. Namun, sumber daya manusia yang bermutu juga lahir dari manajemen dan kultur pendidikan yang berkualitas.
Dengan mengoptimalkan ketiga poin tersebut, niscaya ruang-ruang pendidikan yang humanis dapat tercipta secara baik.
Kembali lagi pada konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, pendidikan sudah seharusnya memerdekakan individu. Ruang-ruang pendidikan harus menjadi “rahim” bagi pertumbuhan dan perkembangan individu menjadi bagian dari generasi yang unggul.
Melalui kreativitas dari generasi yang unggul, sebuah bangsa bisa berjalan maju menuju peradaban yang lebih baik, sebab membangun pendidikan sama halnya dengan menjaga sebuah bangsa. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.